Kamis, 16 Oktober 2008

Melampaui Rasionalitas Jabiri

Kajian Inklusif Bindhara

Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA)

Sabtu, 30 September 2006 di sekretariat FOSGAMA


Melampaui Rasionalitas Jabiri[1]

dari Rasionalitas Menuju Humanitas

Oleh: Robith Qoshidi[2]

Pendahuluan

"Sejarah manusia adalah sejarah akal", begitulah kata Hegel (1831M) seorang filosof idealis dari Jerman yang paling berpengaruh di Barat abad kesembilan belas dan kedua puluh. Menurut Hegel, sejarah manusia baru dimulai sejak manusia menggunakan akalnya. Jadi pondasi sejarah manusia adalah akal dan pemikiran. Bahkan yang mampu mengantarkan manusia pada kemajuan peradaban adalah akal tersebut. Dari akal kemudian timbullah ilmu pengetahuan. Karena itulah kemajuan seluruh peradaban di muka bumi ini dari ujung Barat sampai ujung Timur identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan.[3]

Terbukti Toby E. Huff dalam bukunya The Rise of Early Modern Science mengatakan bahwa pada abad kedelapan hingga keempat belas keilmuan Arab-Islam adalah keilmuan yang paling maju melebihi keilmuan di Barat dan Cina.[4] Karena pada abad itu peradaban Islam adalah peradaban yang paling maju di seluruh muka bumi ini. Kemajuan ilmu pengetahuan inilah yang membuat peradaban Islam maju. Dan sebaliknya kemajuan peradaban Islam mengantarkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.

Terbukti saat peradaban Islam Klasik berada di puncak kemajuan, perpustakaan dibangun di mana-mana, di Baghdad, Mesir, dan Cordoba. Tercatat di Cordoba memiliki 44 buku katalog tebal untuk puluhan ribu judul kitab. Di Mesir menurut sejarawan al-Maqrizi memiliki koleksi sampai sekitar enam ratus ribu judul kitab.[5] Fenomena perkembangan keilmuan ini membuat para intelektual mengkaji dan merancang sistem berpikir yang profesional demi menyempurnakan pengembangan keilmuan di masa depan. Dari situ kita menemukan Aristoteles yang merancang dan mensistematikan pola pikir Yunani, seperti halnya Descartes yang merancang akal Eropa.

Pertanyaannya pola pikir dan sistem berpikir yang bagaimana yang mampu memproduksi keilmuan Islam yang sedemikian kaya. Tapi tak usah berkecil hati, peradaban Islam tidak hanya memiliki keilmuan tanpa sistem berpikir. Khazanah keilmuan Islam juga mencatat perkembangan kajian tentang sistem berpikir dan epistemologi secara spesifik. Hal itu adalah sesuatu yang lumrah dalam tradisi berpikir. Kajian ushul fikih ala Imam asy-Syafii, mantik Paripatetik ala al-Farabi, mantik Masyriqiyin ala Ibnu Sina adalah bukti adanya kajian sistem berpikir dan epistemologi yang mendalam dalam Islam. Jadi dalam keilmuan itu bukan hanya 'berpikir dengan akal' tapi bersamaan dengan itu ada juga yang dinamakan kajian 'berpikir tentang akal'.

Akal ini yang menjadi bidikan kajian pemikir Arab kontemporer papan atas Abid al-Jabiri. Pemikir Maroko ini kemudian membaca ulang khazanah keilmuan Islam dan sistem berpikirnya dengan metode analisa yang baru. Dalam hal ini Jabiri banyak mengelaborasi metode strukturalis. Jabiri kemudian mampu melakukan gebrakan kajian epistemologis terbesar di abad ke-dua puluh. Pola berpikir Islam yang biasanya hanya dibagi menjadi ilmu aqliyah dan naqliyah dipertanyakan lagi. Benarkah dalam Islam hanya ada dua metode berpikir ini? Serta sejauh mana perbedaan dua model keilmuan ini dalam sistem berpikir Islam? Bukankah ada ilmu naqliyah yang menggunakan akal, seperti ushul fikih dan fikih? Atau bahkan sebaliknya banyak ilmu aqliyah yang masih mengelaborasi teks, sepeti ilmu kalam?

Di sini kemudian ditemukan adanya persilangan sumber pengetahuan yang membentuk sebuah epistema berpikir. Dan epistema berpikir ini semakin berkembang atau bahkan bergeser dari tempat semula karena perubahan sosial, budaya, serta adanya perkembangan keilmuan dan pemikiran dalam Islam. Jabiri juga banyak mengelaborasi pemikiran Herbert Spencer tentang teori evolusi dalam keilmuan, serta pengaruh lingkungan (milieu) dalam perkembangan keilmuan. Jadi kajian sistem berpikir atau epistemologi ini adalah sebuah kajian tentang filsafat ilmu. Kajian ini sangat penting sekali untuk merancang sebuah epistema berpikir yang profesional demi masa depan perkembangan inovasi keilmuan Islam.

Dalam makalah yang singkat ini, penulis membagi kajian ini dalam tiga sub-judul. Pertama, Pengaruh pisau analisa strukturalis dalam mengantarkan kajian Jabiri tentang Akal. Kedua, usaha Jabiri dalam merancang epistemologi rasionalis. Ketiga, usaha untuk melampaui rasionalitas ala Jabiri.

Pisau Analisa Strukturalis dan Kajian tentang Akal

Jabiri dikenal dengan magnum opus-nya "Kritik Nalar Arab". Karya ini merupakan tetralogi yang membahas tentang struktur pemikiran Arab-Islam lengkap dengan kritik yang tajam. Empat buku ini adalah Takwin al-Aql al-Araby, Bunyah al-Aql al-Araby, al-Aql as-Siyasy al-Araby, dan al-Aql al-Akhlaqy al-Araby. Dalam buku ini membahas pola pikir Arab-Islam dalam teori ataupun praktek.

Memang kebanyakan kajian Jabiri merupakan kajian sistem berpikir dan epistemologi. Definisi dari kajian epistemologi adalah kajian tentang 'sumber' dan 'kesalahan serta kebenaran' sebuah pengetahuan. Lebih tegasnya menurut Lalande, seorang intelektual Prancis yang sering dikutip Jabiri, kajian epistemologi adalah kajian kritis terhadap kaedah-kaedah keilmuan tentang hipotesa, kesimpulan, yang bertujuan untuk menyingkap batas-batas logisnya dan menjelaskan kegunaan dari ilmu tersebut dan hasilnya.[6] Dimensi kritis dalam kajian epistemologi ini kemudian membuat Jabiri mengelompokkan sistematika berpikir umat Islam menjadi tiga epistemologi yang nanti akan dipaparkan di sub judul berikutnya. Kemudian ia kritisi kembali epistemologi ini demi menemukan epistemologi yang paling cocok untuk pengembangan keilmuan dan peradaban Islam.

Kajian epistemologi atau sistem berpikir memang sangat berkaitan erat kecenderungan Jabiri yang strukturalis. Kajian strukturalis adalah kajian yang berambisi untuk mengetahui sistem dan bangunan sebuah fenomena. Jadi orang-orang strukturalis lebih fokus mengkaji tentang relasi-relasi dan kerangka-kerangka yang ada dalam bangunan sebuah fenomena.[7] Begitu pula saat mengkaji perilaku bangsa Arab-Islam maka orang strukturalis lebih menelisik apa yang menjadi hidden order atau sistem dan bangunan yang tersembunyi di balik perilaku manusia tersebut.

Hal ini mengantarkan pada penelusuran fenomena bawah sadar yang mengaitkan antar manusia tersebut. Atau dengan bahasa yang sederhana ini adalah usaha untuk menelusuri apa sebenarnya yang melatar belakangi perilaku bangsa tersebut. Hingga akhirnya kajian strukturalis mengantarkan pada kajian imajinasi sosial, imajinasi politik, termasuk kajian tentang sistem berpikir dan epistemologi bangsa tersebut. Karena hal itulah yang menghubungkan antar komponen bangsa dalam mengarahkan corak perilaku mereka.

Sistem berpikir ini dibentuk dan dipengaruhi oleh sistem budaya, sosial dan politik bangsa tersebut. Karena semua bangsa memiliki bawah sadar epistemologis yang menggiring bangsa tersebut untuk berpikir di dalam frame budaya, sosial, politik yang melingkupinya. Sistem berpikir yang dipengaruhi oleh lingkungan (milieu) sekitarnya bernama la raison constituee (aql mukawwan atau aql said). Terjemahan aql mukawwan secara leterlek bermakna akal yang dibentuk, artinya dibentuk oleh sosial, budaya dan politik.

Intelektual yang pertama kali menteorisasikan adanya aql mukawwan ini adalah Andre Lalande. Intelektual Prancis ini membagi aql manusia menjadi dua. Pertama, la raison constituante (aql mukawwin atau aql fail). Kedua, la raison constituee (aql mukawwan atau aql said). Aql mukawwin (akal yang membentuk) adalah akal yang sama antar semua manusia. Akal ini adalah kemampuan dasar manusia untuk mengetahui relasi antara sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan kaedah-kaedah dasar dan universal. Sedangkan aql mukawwan (akal yang dibentuk) adalah sekumpulan kaedah yang dijadikan pegangan untuk menarik kesimpulan yang ditetapkan dan disetujui dalam satu jaman tertentu dan dipengaruhi oleh ideologi, budaya, sosial, dan politik tempat dibentuknya akal tersebut.[8]

Maka dari itu pemikiran Yunani kuna, pemikiran Islam, dan pemikiran Barat modern, berbeda satu sama lainnya. Ini mengapa? Karena sistem ideologi, sosial, budaya, dan politik mereka berbeda serta pandangan mereka terhadap alam, tuhan, dan manusia juga berbeda. Perbedaan lingkungan (milieu) inilah yang membuat aql mukawwan antar bangsa berbeda-beda. Tapi lain halnya dengan aql mukawwin yang tetap dan sama antara umat manusia. Ini adalah akal dasar yang yang memiliki karakteristik kritis. Selain pengaruh sosial, budaya, dimensi kritis aql mukawwin juga menjadi salah satu bagian yang membentuk aql mukawwan.

Memang relasi antara aql mukawwin (akal yang membentuk) dan aql mukawwan (akal yang dibentuk) saling berkait berkelindan. Kadang orang tidak bisa membedakan mana aql mukawwin dan mana aql mukawan. Kadang banyak orang menyangka bahwa sebuah aql mukawwan itu adalah aql mukawwin. Tapi poin yang perlu digaris bawahi bahwa Aql mukawwan adalah sistem berpikir yang berubah-ubah menurut sikon. Seperti contoh sistem berpikir yang berubah-ubah dalam dunia eksperimen dan sains. Maka kita bisa memahami bahwa faham 'relatifitas' dan 'evolusi ilmu pengetahuan' adalah sebuah fenomena pengungkapan tentang perubahan aql mukawwan tersebut. Filsafat positivisme, pragmatisme, post-modern adalah bentuk-bentuk aql mukawwan yang berubah-ubah.

Maka saat mengkaji sistem berpikir Arab-Islam maka sebenarnya kajian ini menitik beratkan pada kajian aql mukawwan (akal yang dibentuk). Dari itu Jabiri berusaha untuk menyingkap mana kaedah-kaedah yang benar-benar logis dan kaedah-kaedah yang dilatar belakangi oleh peran ideologi. Dalam hal ini Jabiri banyak mengelaborasi pemikiran Michel Foucault (1984M) tentang arkeologi pengetahuan. Jabiri menelisik dan melakukan kajian arkeologis demi mengungkap lapisan-lapisan kebenaran yang diyakini oleh bangsa Arab. Oleh karena itu Jabiri mempelajari pembentukan pengetahuan dan dialektika politik dalam Arab-Islam yang dituliskan dalam buku Takwin Aql al-Araby. Jabiri kemudian berusaha membedakan mana yang epistemologis dan mana yang ideologis.

Untuk membedakan mana yang logis dan mana yang ideologis maka harus dimulai dengan mengetahui sistem dan bangunan pemikiran terlebih dahulu. Kajian ini hanya bisa didapat dengan menggunakan pisau analisa strukturalis. Kajian strukturalis mulanya adalah bagian dari metode kajian linguistik. Namun kemudian berkembang dan diterapkan dalam kajian ilmu kemanusian (humaniora). Bapak strukturalis pertama adalah Ferdinand de Saussure (1857M).[9]

Kajian strukturalis tidak menitik beratkan pada kajian nilai intrinsik sebuah fenomena, akan tetapi lebih menekankan terhadap kajian relasi dan kerangka sebuah bangunan fenomena. Saussure memberikan contoh dengan memaparkan apa sebenarnya yang membedakan antar buah catur dalam permainan catur. Ternyata bukan karena nilai intrinsiknya artinya bukan karena benda itu berbentuk kuda, peluncur, atau raja. Bisa saja kita menggantikan benda itu dengan kancing baju tapi masih berperan seperti kuda yang bergerak meloncat leter L. Ternyata yang membedakan antar buah catur itu adalah relasi-relasi dan hubungan diferensial antar catur tersebut.[10]

Dalam kajian strukturalis ada dua kajian. Pertama, kajian diakronis. Kajian ini adalah kajian tentang perkembangan. Kajian ini mempelajari perjalanan, pembentukan sebuah fenomena di jaman dan kondisi yang terus berubah. Dalam hal ini terlihat dalam kajian Jabiri dalam Takwin Aql al-Araby yang menelisik sejarah pembentukan akal Arab. Kedua, kajian sinkronis. Kajian ini adalah kajian perbandingan.[11] Deskripsi dan analisa tentang sebuah fenomena dalam zaman tertentu dengan menelisik bangunan serta relasi-relasi yang ada dalam fenomena tersebut. Ini diterapkan dalam Bunyah aql al-Araby.

Kajian diakronis atau kajian perkembangan ini kemudian dielaborasi dengan beberapa teori seperti teori evolusi pengetahuan ala Herbert Spencer dan juga kajian arkeologi pengetahuan ala Michel Foucault. Arkeologi pengetahuan ini berusaha menelisik sejarah pemikiran tapi bukan untuk mendeskripsiskan belaka namun untuk mencari start poin bagi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Maka ditemukanlah apa yang dinamakan 'masa kodifikasi ilmu'. Masa kodifikasi ini bukan untuk mencatat keilmuan saja tapi bagaimana pengaruh kodifikasi tersebut dalam membentuk epistema berpikir suatu bangsa dan mengarahkan pola berpikir serta perilaku mereka. Masa kodifikasi adalah sebuah masa tetap yang menjadi standar berpikir.

Kajian tentang masa kodifikasi ini menitik beratkan pada kajian teks. Tapi bukan hanya teks yang tertulis, melainkan juga membahas apa yang tak tertulis. Maksudnya membahas kondisi sosial, budaya, politik apa yang mempengaruhi seorang pengarang dalam menuliskan teksnya. Kajian ini juga berusaha untuk mengetahui peran seorang pengarang dalam memecahkan masalah di masanya.

Maka kita akan memahami mengapa Jabiri selalu berusaha mengaitkan sebuah epistema dengan latar belakang ideologi politik di belakangnya. Seperti epistema Bayan (eksplanasi) yang dikaitkan dengan ideologi Sunni, Epistema Irfani (gnostik) yang dikaitkan dengan ideologi syiah, epsitema Burhan (logika demonstratif) yang dikaitkan dengan para filosof. Setelah mengungkapkan hal itu Jabiri berusaha memilah antara sistem berpikir (epistemologi) dengan ideologi. Lalu memilih dan menyempurnakan epistemologi apa yang relevan untuk mengembangkan keilmuan dan peradaban Islam. Maka untuk membuat sebuah epistemologi yang profesional ini harus dimulai dari kritik terhadap masa kodifikasi lama yang telah menjadi standar berpikir umat Islam. Lalu berusaha untuk merancang masa kodifikasi baru demi epistemologi yang membawa inovasi bagi umat Islam.

Pemenangnya adalah Rasionalitas

Pertanyaan yang paling mendasar untuk Jabiri adalah mengapa epistema Arab-Islam dibagi menjadi tiga. Ada epistema Bayan (eksplanasi) yang murni berakar dari Arab, ada epistema Irfan (gnostik) yang mengelaborasi pemikiran Persia, dan epsitema Burhan (logika demonstratif) yang mengelaborasi pemikiran Yunani. Kenapa dua nalar yang terakhir itu dimasukkan dalam kajian nalar Arab? Kalau pun benar itu masuk nalar Arab, berarti ada beberapa akal atau beberapa nalar dalam akal Arab-Islam. Bukankan lebih pantas kalau judul buku Jabiri adalah 'Naqd al-Uqul al-Arab' (Kritik Nalar-nalar Arab)?.[12]

Namun tampaknya Jabiri tak kesulitan untuk menjelaskan bahwa dua epistema terakhir itu termasuk dari kebudayaan Arab-Islam. Jabiri berargumentasi bahwa dua epistema serta keilmuan yang muncul dari epistema itu hidup dan berkembang lama dalam daerah Arab pra Islam.[13] Seperti 'Syam', Kufah, Bashrah dan Baghdad. Atau itu merupakan khazanah keilmuan warisan dari daerah yang ditaklukkan Islam. Seperti Jundisabur, Persia, dan Mesir. Daerah-daerah yang disebutkan tadi pernah dijajah oleh Romawi ataupun Persia. Dan semua khazanah keilmuan yang pernah hidup dan bernafas di di daerah Islam, baik sebelum atau setelah datangnya Islam, bisa disebut khazanah keilmuan Islam, baik secara materi ataupun epistemologi.

Memang kajian epistemologi ala Jabiri adalah kajian yang baru dalam pemikiran Islam, dengan metode baru dan bidikan yang baru pula. Namun sebenarnya ada ulama klasik yang mendahului Jabiri dalam membagi epistemologi Islam menjadi tiga. Dia adalah sufi terkenal yang bernama al-Qusyairy. Di dalam kitab Lathaif al-Isyarah-nya ia membagi pola pikir ulama Islam menjadi tiga dengan istilah yang sama persis dengan Jabiri, Bayan, Irfan, dan Burhan.[14]

Tapi yang dimaksudkan al-Qusyairy berbeda dengan yang dimaksudkan Jabiri. Yang dimaksudkan Burhan oleh al-Qusyairy adalah pola pandang para mutakallimin dalam memandang syariat. Lain halnya dengan Jabiri yang menjadikan Burhan sebagai epistemologi para filosof Aristotelian, sedangkan epistemologi para mutakalimin masuk dalam kategori Bayan.

Mereka berdua juga berbeda menentukan mana epistemologi yang perlu diperjuangkan. Kalau al-Qusyairy menganggap bahwa yang menjadi puncak tertinggi keilmuan seseorang adalah adalah Irfan (ruhaniyah). Sedangkan Jabiri menegaskan bahwa yang perlu dijadikan pedoman bagi sistem berpikir Islam adalah Burhan (logika demonstratif). Memang pembagian epistemologi menjadi tiga bagian ini akhirnya membuat Jabiri memilih Burhan (logika demonstratif). Maka dari itu Jabiri menghajar epistema Bayan dan Irfan.

Jabiri menjelaskan bahwa epistema Bayan tak relevan untuk pengembangan keilmuan dan peradaban Islam karena dua poin besar. Pertama, nalar ini tidak mengakui kausalitas, padahal pengembangan keilmuan itu harus berlandaskan teori kausalitatif. Kedua, karakteristik epistema Bayan hanyalan pengulangan apa yang di masa lalu atau menganalogikan (kiyas) sesuatu dengan masa lalu.

Untuk membuktikan itu Jabiri memulai kajiannya dengan kajian tentang relasi bahasa Arab dan pemikiran Arab. Jabiri meminjam analisa Herder (1803M) dalam menjelaskan keterikatan antara bahasa dan pemikiran.[15] Pemikir Jerman ini mengatakan bahwa tidak ada yang menolak bahwa setiap balita belajar berpikir dari bahasa ibu dan bahasa masyarakatnya. Lalu Herder mengatakan bahwa setiap manusia berbicara sebagaimana ia berpikir dan berpikir sebagaimana ia berbicara.

Tentu setiap bahasa memiliki karakteristik tersendiri. Bahasa masyarakat Eskimo akan berbeda dengan bahasa padang pasir. Masyarakat Eskimo memiliki kata yang cukup rinci dalam membedakan tingkat kedinginan salju tapi miskin akan pengetahuan tentang panas. Seperti halnya masyarakat padang pasir mempunyai kosakata yang kaya dalam menjelaskan tingkat kepanasan tapi miskin akan kosakata tingkatan kedinginan. Itu hanyalah contoh kecil betapa bahasa dibatasi oleh lingkungannya. Dan setiap manusia berpikir melalui bahasa mereka dalam memahami alam secara keseluruhan ataupun secara parsial.[16]

Bahasa Arab pun memiliki karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh geografi, budaya, sosial, dan politik yang berdialektika di dalamnya. Dan tampaknya karena alasan 'identitas', karakteristik itu ingin dipertahankan oleh bangsa Arab. Maka sejarah keilmuan Islam mencatat bahwa kodifikasi bahasa adalah termasuk kodifikasi yang pertama. Kodifikasi ini bermula dari fenomena lahn (keliru dalam tata bahasa) yang marak setelah terjadinya Futuhat Islamaiyah. Kodifikasi ini adalah upaya untuk menjaga bahasa Arab dari serangan budaya lain.[17] Sayangnya fenomena kodifikasi ini membawa petaka bagi perkembangan pola pikir Arab.

Ini disebabkan standar kodifikasi ilmu bahasa adalah bahasa Badui atau bahasa masyarakat yang tak berperadaban. Sehingga kata-kata yang dijadikan standar fasih atau murni adalah bahasa yang tak berpendidikan dengan pola pikir yang sangat sederhana dan primitif. Sangat disayangkan mengapa kodifikasi bahasa ini tak berstandarkan daerah berperadaban seperti Iraq atau Syam. Hingga akhirnya Jabiri menjelaskan bahwa efek negatif dari fenomena ini menjadikan orang Badui sebagai guru bagi ulama Islam.[18]

Kondisi geografis masyarakat Badui jelas mempengaruhi bahasa dan pola pikir mereka. Kondisi ini yang membuat pola pikir al-infishal (keterputusan) menurut Jabiri. Kondisi Arab dikelilingi pasir dan bebatuan yang merupakan benda yang terpisah. Kemah-kemah kabilah saling terpisah satu sama lainnya. Kekerabatan adalah fenomena yang hanya mengurangi sedikit dari sifat keterpisahan ini. Karena pada dasarnya setiap individu dan kabilah independen antara satu sama lainnya. Karakteristik ketersambungan dan penyatuan hanyalah karakteristik masyarakat kota.

Karakteristik keterputusan ini kemudian mengakibatkan faham ketidak pastian. Alam gurun memang alam yang tak menentu, secara geografis ataupun keamanan. Tak ada yang bisa memastikan apakah seorang musafir yang bepergian akan sampai dalam waktu yang diinginkan. Entahlah? Jadi daerah Arab memang membuat pola pikir tentang tidak adanya kepastian. Memang ada sisi yang terlihat beraturan namun perubahan yang mendadak dan di luar dugaan bisa terjadi setiap waktu. Hal inilah kemudian yang membuat pemikiran Arab tak memandang segala sesuatu dengan pandangan kausalitatif, melainkan dengan ketidak pastian dan semua bisa terjadi.

Bersamaan dengan itu standar bahasa yang berdasarkan bahasa kaum Badui ini membuat keabsahan dan kemurnian bahasa hanya dengan mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang Badui. Bahkan bahasa Badui bukan untuk diambil saja tapi dicocokkan dengan bahasa yang sudah ada di daerah yang lebih beradab seperti Mekah, Syam, dan Baghdad. Kalaupun ada teori qiyas (permisalan) maka itu tak bisa keluar dari standar Badui. Dan kelemahan teori qiyas yang lain adalah menjadikan bahasa berdasarkan kemungkinan bukan dari realita atau dari pemikiran.

Qiyas (analogi) ini hanyalah merupakan penyamaan apa yang ada sekarang dengan masa lalu. Teori ini kemudian menyebar dan menjadi standar bagi keilmuan Islam yang biasa disebut dengan ilmu naqliyah. Naqliyah sendiri bermakna pemindahan yang lalu ke masa sekarang. Kita bisa melihat bahwa ilmu-ilmu lain seperti balaghah juga mempunyai pola pikir yang sama dengan qiyas, yaitu tasybih. Al-Baqillani dalam i'jaz al-Qur'an mengatakan bahwa pondasi ilmu balaghah itu tasybih.[19]

Dalam ushul fikih kita juga bisa melihat bahwa asy-Syafii berpegang teguh pada qiyas (Analogi). Analogi ini membuat ketergantungan terhadap teks dan contoh yang telah lalu. Begitu juga dalam ilmu kalam. Al-Asy'ary, imam al-Mutakallimin banyak terpengaruh Ibnu Hanbal yang merupakan ikon Ahlu Hadits yang berseberangan dengan ahlu Ra'yi. Dalam teori kalamnya beliau pun banyak terpengaruh asy-Syafii. Sumber kebenaran itu dari teks dan dari apa yang diriwayatkan oleh para sahabat dan Tabiin. Al-Istidlal ala al-Asy'ary adalah bentuk lain dari qiyas ala asy-Syafii.

Menurut Jabiri konsep qiyas ini adalah metode berpikir yang paling bertanggung jawab atas stagnasi umat Islam. Metode Qiyas tak bisa melahirkan inovasi baru. Karena qiyas hanyalah upaya menyamakan zaman sekarang dengan masa lalu saja. Ini merupakan aktifitas pengulangan masa lalu saja. Atas dasar itu Jabiri menganggap bahwa epistema Bayan tidak mampu mengembangkan keilmuan dan peradaban Islam.

Kecenderungan ulama Bayan yang mengagungkan teks membuat kajian-kajian para mutakallimin dan fuqaha membuat kajian keagamaan menjadi kaku, bahkan kehilangan ruh spiritualnya. Sebagai reaksi dari itu muncullah kalangan yang mengatas namakan dirinya sebagai sufi, yang berusaha melawan kecenderungan tekstual ulama resmi. Kaum sufi menginginkan pemahaman teks-teks keagamaan itu dengan makna batinnya, makna yang hanya bisa dipahami dengan intuisi. Pemahaman yang bukan dengan otak dan mantik. Tetapi sebuah pemahaman yang hanya bisa diperoleh dengan kasyf.[20] Epistema mereka adalah Irfani (gnostik) dengan standar kebenaran hati dan intuisi. Menurut Al-Ghazali pengetahuan ini mempunyai dua premis (muqadimah). Yang pertama, muqadimah kubra, yaitu cermin lauh mahfud. Yang kedua, muqadimah sughra, yaitu cermin hati. Dan seseorang agar sampai pada pengetahuan ladunni maka kedua cermin ini harus dihadapkan dengan penyucian diri dengan membersihkan hatinya.[21]

Pentolan-pentolan yang mempunyai kecenderungan gnostik ini banyak berasal dari Khurasan dan Persia. Seperti Makruf al-Karkhi, Ibrahim bin Adham, dan Abdullah bin Mubarak. Khurasan adalah daerah yang telah lama bersinggungan dengan budaya Persia. Daerah ini adalah tempat para sufi penganut aliran gnostik kuno. Dan daerah Khurasan adalah daerah yang sejak dulu merupakan ring pertarungan panas antara warga setempat dengan para penakluk dari Arab. Dari pertarungan bersenjata menuju pertarungan ideologi. Dalam hal ini mereka menggunakan dan mengelaborasi akidah-akidah dan pemikiran Persia kuno. Daerah ini juga merupakan pendukung Alawiyyin dan Abbasiyin yang berupaya menggulingkan dinasti Umayah.[22]

Pemikiran gnostik ini biasanya dalam tradisi filsafat dikenal dengan istilah Hermesian. Nah, sufi ini mempunyai relasi erat dengan pemikiran Hermesian. Setidaknya ada tiga persamaan antara pemikiran kaum sufi dengan pemikiran Hermesian. Pertama, tuhan tidak diketahui dengan akal, tapi diketahui dengan hati dan penyucian diri. Kedua, adanya relasi antara alam bawah dan alam atas yang menjadi sumber bagi keilmuan nujum (astrologi), sihir dan kimia ruhani. Ketiga, hubungan kausalitatif tidak berdasarkan akal namun berdasarkan pengalaman spiritual. Pemikiran gnostik ini berakar dari berbagai pemikiran terutama Manawiyah, Zoroaster, Shabiah, dan beberapa madzhab filosof.[23]

Relasi antara tasawuf dan Hermesian ini bermula saat Khalid bin Yazid bin Muawiyah (85H) menterjemahkan dan mengembangkan keilmuan kimia ruhani dan nujum yang diusung dari Alexandria. Daerah ini memang sarangnya pemikiran gnostik kuna, dari aliran Neo-Platonisme. Adalah Jabir bin Hayyan seorang yang bermadzhab Syiah yang dikenal sebagai ahli kimia ruhani pertama dan juga ahli keilmuan gnostik lainnya. Memang dalam sejarahnya madzhab Syiah adalah madzhab yang pertama yang banyak terpengaruh oleh pemikiran ala Hermesian.[24]

Dalam perjalanan sejarahnya al-Ghazali adalah intelektual yang paling berperan dalam mempromosikan pemikiran gnostik ini. Lewat magnum opus-nya Ihya' al-Ulum ad-Din, ia berusaha menjadikan pemikiran gnostik atau istilah al-Ghazali ilmu mukasyafah ini sebagai ilmu yang diakui oleh masyarakat luas. Ia berpendapat bahwa tasawuf itu dibagi menjadi dua. Pertama, ilmu mukasyafah. Kedua, ilmu muamalah. Kemudian ia menjadikan kitab Ihya sebagai kajian tentang ilmu muamalah. Yaitu ilmu tentang ibadah dengan titik tekan dimensi spiritualnya. Ilmu ini secara paralel berhubungan dengan ilmu fikih. Sehingga ia membagi ilmu fikih menjadi dua. Pertama, fikih jasmani. Kedua, fikih ruhani. Itulah kemudian yang membuat fikih dititik tekankan pada masalah ruhani.[25]

Mempromosikan tasawuf dengan jalur fikih ini adalah langkah gemilang untuk membuat tasawuf lebih diterima oleh masyarakat luas. Karena fikih telah terlebih dahulu diakui legalitasnya oleh masyarakat. Terbukti paska al-Ghazali epistemologi Irfan (gnostik) menang dalam tataran realita. Namun sayangnya pemikiran ini kemudian mengajak umat Islam meninggalkan dunia lewat konsep maqamat wa ahwal-nya. Serta menekankan taklid murid terhadap gurunya. Hal ini jelas dianggap lebih parah dari pemikiran ulama Bayan.

Nalar Irfan (gnostik) ini yang kemudian berpengaruh membangun pemikiran mistis dalam tubuh umat Islam. Padahal dalam level negara rasionalitas sangat dibutuhkan. Kita memerlukan rasionalitas dalam ekonomi, analisa ekonomi dan menentukan langkah-langkah ekonomi. Kita perlu rasionalitas dalam mengatur negara. Kemunduran umat Islam ini dikarenakan merebaknya pandangan mistis dan a-kausalitas dalam tubuh Islam sekarang. Jadi memang perlu sekali untuk merevisi pemikiran kita dan merasionalisasikannya demi kemajuan peradaban Islam.

Rasionalisasi ini hanya bisa didapat dari tradisi filsafat. Dalam sejarahnya filsafat selalu menjadi antitesa dari pandangan mistis. Tapi sayangnya filsafat dalam Islam khususnya di tangan Farabi dan Ibnu Sina tercemari oleh pemikiran gnostis sehingga pada titik tertentu kehilangan rasionalitasnya. Khususnya Ibnu Sina, ia mencampurkan pemikiran Yunani dan Islam dengan bangunan pemikiran madrasah Haran yang beraliran gnostis. Maka dari itu filsafat Ibnu Sina berlandaskan teori emanasi (faidh). Ibnu Sina yang merupakan orang Syiah mengelaborasi filsafat Hermesian dalam membentuk ideologinya.

Menurut Jabiri, hal ini berbeda dengan kajian filsafat di dunia Islam bagian Barat yang tidak dibayang-bayangi peperangan ideologis. Dunia Islam bagian Barat memang telah melakukan pemutusan epistemologi dengan dengan dunia Timur. Maka dari itu pola berpikir mereka berbeda. Itu terlihat dari beberapa intelek Islam bagian Barat melakukan kritikan terhadap intelektual Timur. Seperti Ibn Bajah, Ibn Tufail, asy-Syatibi, Ibn Rusyd dan Ibn Hazm.

Ikon yang paling berpengaruh dan meletakkan pondasi bagi pola pikir Islam bagian Barat adalah Ibn Hazm. Ibn Hazm mempunyai kecenderungan membela dinasti Umawiyah di Andalus. Ia bertugas menghadapi ideologi dinasti Abbasiyah di Baghdad yang menggunakan sistem Bayan, dan menghadapi dinasti Fathimiyah di Mesir yang menggunakan epistemologi Irfan. Inilah yang membuat Ibn Hazm kembali kepada sumber keagamaan yang asli dengan melepaskan penafsiran-penafsiran ala orang Timur. Oleh karena itu pula Ibnu Hazm mengkritisi habis-habisan kaum sufi dan kaum gnostik syiah.[26]

Ibnu Hazm pun mengkritisi sisi yang dianggap irasional dalam pemikiran Asyairah yang menolak kausalitas dan menggantinya dengan konsep adah (kebiasaan). Menurut Ibn Hazm kausalitas di alam semesta itu ada, tapi hal itu juga merupakan bagian dari ciptaan tuhan. DI sisi yang lain ia menolak metode qiyas ala fukaha. Ia menganggap qiyas itu tidak membuat sebuah kepastian. Makanya ia menawarkan konsep sumber hukum itu ada empat. Pertama, al-Qur'an. Kedua, as-Sunah. Ketiga, al-Ijma. Keempat, al-Aql sebagai pengganti qiyas. Dan menurut Ibn Hazm, akal itu tidak bertolak belakang dengan teks al-Quran. Bahkan dalam kitabnya yang berjudul at-Taqrib li had al-Mantiq, ia mengatakan bahwa siapa yang tidak mengetahui mantik tidak boleh berfatwa.[27] Karena mantik adalah standar kebenaran berpikir. Inilah salah satu corak epistema Burhan (logika-demonstratif). Epistema ini mengakui bahwa standar kebenaran adalah akal.

Dan sungguh sangat mujur filsafat di bagian Barat menurut Ibn Bajah, seorang filosof Andalus, datang memang murni sebagai kajian sains tanpa ada embel-embel ideologis. Inilah yang kemudian membuat kajian filsafat di Barat cenderung kajian ilmiah murni dan mempunyai kecenderungan rasionalitas.

Puncak rasionalitas Islam bagian Barat berada di tanagn Ibnu Rushd. Filosof yang lahir di Cordoba ini berusaha membaca ulang karya filsafat Aristoteles dan melepaskan diri dari interpretasi para filosof dari Timur. Sehingga ia kemudian menghasilkan spirit filsafat yang berbeda dengan Farabi dan Ibnu Sina. Ini sangat terkait erat dengan pandangannya yang berusaha memisahkan antara agama dan filsafat. Agama dan filsafat mempunyai paradigma yang berbeda satu sama lainnya, sehingga perlu dipisahkan bangunan paradigmanya antara satu sama lainnya. Itu sangat berbeda dengan filosof timur yang berusaha mencampur adukkan antara agama dan filsafat.[28] Yang jelas, ciri-ciri rasionalitas Ibnu Rushd adalah mengakui adanya kausalitas dan peran akal dalam standar pengetahuan manusia.

Keterputusan epistemologi (repture epistemologi) bukan merupakan pemutusan hakiki tapi semacam pembacaan ulang terhadap pemikiran dan pola pikir. Inilah yang dimaksudkan dengan fase memutuskan diri dengan turats demi langkah selanjutnya yaitu menggabungkan kembali lagi dengan turats yang masih relevan di masa sekarang. Itulah yang membuat Jabiri berusaha melepaskan diri dari nalar Bayan (eksplanasi) dan nalar Irfan (gnostik), untuk menggabungkan diri dengan nalar Burhan (logika-demostratif). Tapi bukan sembarang Burhan dan bukan sembarang rasionalitas. Kesimpulan akhir Jabiri adalah menggabungkan diri dengan epistema rasionalitas ala Islam Barat.

Selangkah Lebih Maju dari Rasionalitas Jabiri

Tampaknya rasionalitas ala Islam Barat yang dikampanyekan Jabiri adalah bom waktu bagi Jabiri. Dengan memilih salah satu sistem berpikir tertentu di dalam batas-batas budaya dan geografi tertentu adalah bukti bahwa Jabiri sedang mengkampanyekan akal mukawwan (akal yang dibentuk). Tentu akal ini hanyalah sebuah perkembangan dari nalar yang berkembang di dalam masyarakat Islam. Dan itu belumlah final.

Lebih-lebih, upaya menggambarkan nalar Islam Barat sebagai nalar yang rasional terkesan banyak dipaksakan. Ibnu Hazm yang dianggap sebagai pondasi rasionalitas Islam Barat ternyata penganut madzhab dzahiry yang cenderung tekstual. Bahkan filsafat Aristoteles yang dikampanyekannya Ibn Hazm hanyalah untuk memperkuat pondasi nalar Bayan-nya. Ibn Hazm hanya berusaha untuk memodifikasi teori adah ala Asyairah yang tidak setuju dengan kausalitas. Asyairah menolak kausalitas karena kausalitas dianggap akan berkonskwensi mengingkari kenabian dan hal yang supranatural. Maka pendapat Ibn Hazm sistem kausalitas yang diciptakan tuhan hanyalah untuk merasionalisasikan bahwa kenabian dan sesuatu yang supranatural bisa terjadi dan dibenarkan oleh akal. Jadi rasionalitas Ibn Hazm sangat berbeda dengan rasionalitas ala filosof. Burhan yang diagunakan hanyalah untuk menopang pondasi Bayan.[29]

Syatibi yang dikatakan Jabiri pro rasionalitas pun menganggap bahwa pemikiran filsafat itu tidak syar'i. Ibn Khaldun pun dalam kitab mukadimahnya mengarang satu sub jud tentang penolakan terhadap filsafat. Terlepas yang dikritisi adalah filsafat Neo-Palatonisme, namun perlu dicatat bahwa Ibn Khaldun adalah pengikut Asyairah yang sufi dan mengakui mukasyafah. Ibn Tufail pun adalah filosof aliran gnostik. Karena buku Hay bin Yaqdhan berpretensi untuk menjelaskan filsafat Masyriqiyah Ibn Sina. Bahkan tokoh inti dalam rasionalitas Islam Barat, Ibn Rusyd sendiri ternyata menggunakan definisi teologis dalam filsafatnya. Menurutnya tujuan filsafat itu adalah mempelajari makhluk untuk mengetahui sang pencipta. Jadi Ibn Rusyd berbeda dengan filsafat Aristoteles yang mengetahui untuk tahu secara objektif dan rasional. Lebih-lebih, di daerah Islam bagian Barat terdapat banyak sekali intelektual yang beraliran gnostik seperti Ibn Arabi dan Ibn Masarah.[30]

Dan jikalau Jabiri tetap memperjuangkan rasionalitas Islam Barat maka ia akan terbatas pada rasionalitas ala Aristoteles. Betapa tidak, filsafat yang dikaji Ibn Rusyd adalah filsafat Aristoteles. Padahal filsafat Aristoteles di abad posmodern ini sudah lama ditinggalkan dan telah dikritisi di abad modern. Hal itu dipelopori oleh Francis Bacon yang merupakan Bapak Logika Modern.

Logika Aristoteles dianggap tidak inovatif karena kesimpulan yang dibuat sudah ada dalam premis mayor (mukadimah kubra). Ketika mengatakan bahwa 'setiap manusia berakal', dan 'Muhib adalah manusia', Jadi 'Muhib berakal'. Kesimpulan bahwa Muhib berakal sudah ada dalam kata setiap manusia berakal. Jadi logika Aristoteles tidak mampu menemukan sesuatu yang baru. Terlebih logika Aristoteles saat berpendapat bahwa manusia itu berakal, atau pernyataan lain yang semisal, itu tidak berawal dari penelitian di lapangan. Jadi semua hanya terkaan. Maka dari itu Francis Bacon menganggap bahwa logika Aristoteles itu hanya hayalan belaka dan membuat orang menghayal. Dari itu ia tak mampu mewadahi kemajuan ilmu natural di abad modern ini. Menurut Francis Bacon, rasionalitas modern harus berangkat dari eksperimen dan penelitian.[31] Dari eksperimen ini kemudian muncullah inovasi dan penemuan baru.

Tapi pemikiran modern tetap saja merupakan salah satu fase perkembangan dari akal mukawwan (akal yang debentuk). Maka dari itu pemikiran posmodern setelahnya mengkritisi pemikiran modern. Pemikiran posmodern mengkritisi mengapa kemajuan sains dan teknologi menghasilkan bencana bagi umat manusa. Peperangan di mana-mana, penghisapan di mana-mana, pembunuhan di mana-mana, perang bersenjata mesin di mana-mana. Ada apa gerangan dengan pemikiran modern?

Ternyata fenomena ini bermula dari perkataan Newton yang masyhur bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuatan (The Knowledge is Power). Jadi ilmu kemudian berorientasi untuk menguasai dan menaklukkan. Ada upaya untuk mengeksploitasi alam semesta lewat ilmu pengetahuan. Dari itu ada pemisahan antara subjek pengkaji dan objek yang dikaji. Dan orientasi mengetahui objek ini untuk maslahat subjek. Dalam hal ini kemudian ada ketidak harmonisan antara manusia dan alam. Karena alam hanya barang yang bisa dieksploitasi sebesar-besarnya. Dan manusia hanyalah dianggap mesin yang mengeksploitasi alam tersebut. Maka terjadilah kerusakan alam di mana-mana. Bahkan ada juga upaya mengeksploitasi sesama manusia dengan perantara ilmu pengetahuan ini. Itulah yang melatar belakangi pemikiran kapitalisme dan kolonialisme.

Yang perlu dielaborasi sekarang adalah apresisasi terhadap eksistensi manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Bagaimana mengupayakan sebuah pemiran yang rasional namun sekaligus mengelaborasi humanitas. Sehingga ilmu pengetahuan itu tidak berupaya memisahkan antara manusia pengkaji dan objek kajian. Pengetahuan harus berorientasi untuk meletakkan semuanya dalam tatanan alam semesta yang teratur.

Maka semua itu bermula dari kajian tentang eksistensi manusia di alam semesta alam. Kalau Descartes mengatakan bahwa 'saya berpikir maka saya ada; (Cogito Ergo Sum). Maka penulis lebuh sepakat dengan Husserl dalam titik tertentu yang mengkampanyekan bahwa 'saya berpikir, maka saya objek pemikiran'. Pemikiran ini berorientasi untuk mengetahui bangunan intuisi manusia dan pengalaman hidupnya. Karena sebenarnya realita itu tidak mungkin dipahami kecuali dengan kesadaran, intuisi, dan kesengajaan.[32]

Jika intuisi dielaborasi maka akan berimbas pada relasi timbal balik antara aktifitas intuisi dan objek intuisi yang dikaji. Inilah yang menyebabkan keharmonisan antara manusia sebagai subjek dan alam semesta dan manusia lain sebagai objek. Kalangan yang mengkampanyekan hal ini adalah kalangan eksistensialis (wujudiyah). Jadi logika tidak berorientasi untuk menghukumi saja. Tapi logika harus diupayakan memelihara eksistensi manusia dan kemanusiaan di alam semesta ini.

Ini juga yang menjadi konsentrasi filosof Islam, Syaikh Isyraq, Suhrawardi. Ia berupaya bagaimana mengelaborasi akal dan dan hati. Untuk itu Suhrawardi berupaya untuk menyatukan pemikiran Neo-Platonisme yang mempunyai kecenderungan intuisi dan pemikiran Aristoteles yang mempunyai kecenderungan rasional. Ini adalah bagian dari penyatuan metode rasio dan intuisi. Sebenarnya pendapat Aristoteles tidak semuanya salah, tapi ada beberapa poin yang perlu dibuang, ditambah dan disempurnakan. Maka Suhrawardi melakukan kritik terhadap Aristoteles dan juga meringkas 'problema' Aristoteles. Ini agar bisa mengharmonisasikan pemikiran Aristotelian dan Neo-Platonisme.[33]

Karena pada dasarnya metode berpikir seperti logika ini lahir setelah adanya perkembangan keilmuan. Jadi itu merupakan bagian dari upaya mengembangkan keilmuan. Maka seharusnya logika ini mengakomodir semua keilmuan yang sudah ada. Dalam artian tidak boleh ada yang dianak tirikan. Logika itu ala Aristoteles bukanlah sebuah sistem berpikir yang paten. Tapi itu hanyalah bagian dari variasi metodologi yang ada. Yang bisa terus berkembang dan berubah.

Atas dasar ini Yahya Muhammad menganggap Abid Jabiri memihak satu pemikiran dan meninggalkan beberapa lainnya. Dan pandangan itulah yang membuat ia membatasi pemikirannya dalam pola pikir yang memihak. Satu hal yang dilupakan oleh Jabiri adalah karakteristik agama Islam dan wahyu yang wataknya adalah transenden dan metafisis. Satu hal yang merupakan titik tekan kalangan gnostik, serta sesuatu yang berpengaruh dalam epistema kalangan ini.

Menurut Yahya Muhammad, epistema Islam itu berkaitan dengan pemahaman mereka terhadap teks keagamaan. Sehingga tidaklah benar jika membagi epistema itu keluar dari teks. Maka dari Yahya Muhammad menganggap bahwa semua pemikir Islam itu hanya memiliki dua epistema. Perta, yang memandang agama sebagai kajian normatif, seperti mutakallimin, fukaha, mufassir, dll. Epistema mereka adalah mi'yary (normatif). Kedua, epistema wujudy, yang menganggap bahwa agama adalah sistem wujud (eksistensi) dan mengatur eksistensi manusia di alam semesta ini. Mereka adalah para sufi dan para filosof.[34]

Penulis tidak sepenuhnya sepakat dengan Yahya Muhammad, tapi dengan ini kita bisa menyadari bahwa metodologi itu hanya cocok untuk satu pemikiran atau disiplin ilmu saja. Dan itulah yang dikampanyekan oleh para pemikir modern. Karena setiap disiplin ilmu mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Sehingga kita tidak boleh menyamakan antara satu sama lainnya.

Maka pada batas-batas tertentu penulis menyadari bahwa ushul fikih ala asy-Syafii adalah bagian dari metodologi untuk menerapkan ajaran al-Qur'an dan as-Sunah dalam kehidupan. Jadi, ushul fikih hanya terbatas pada metodoli kajian hukum, tidak membahas tentang bagaimana mengembangkan sebuah keilmuan dalam bentuk yang inovatif secara material. Tugas hukum hanyalah menjaga bagaimana menjaga agar interaksi yang ada dalam alam semesta itu bisa harmonis. Maka sebenarnya ilmu ushul fikih itu mempunyai titik tekan sebagai metodologi interaksi antar manusia dengan manusia, alam dan tuhan.

Apresiasi terhadap ushul fikih tidak berarti menerima ushul fikih secara membabi buta. Namun ini adalah upaya menjadikan ushul fikih bisa lebih berkembang dalam tugasnya mengurusi hukum. Upaya tidak menolak secara total terhadap ushul fikih adalah bagian dari upaya mengapresiasi sisi religius yang telah menjadi fenomena sosial sepanjang sejarah, bahkan telah memiliki ilmu dan cabang ilmu tersendiri. Tapi tentu apresisasi terhadap religius tidak membuat kita menjustifikasi kebenaran relegius bahkan mistis secara membabi buta. Harus ada pemilihan mana nilai-nilai spiritual yang pokok dan mana nilai spiritual yang negatif.

Ini sangat penting untuk dilakukan perlu dilakukan karena memang sisi religius harus dielaborasi, sebagai bagian dari khazanah keilmuan besar yang dimiliki manusia. Hal ini menjadi lebih penting jika kita menganggap bahwa kajian metodologi berpikir harus mengapresiasi semua keilmuan yang ada. Pada tataran sosial budaya, ini adalah tugas yang lebih penting lagi. Karena memperjuangkan rasionalitas, khususnya di dalam peradaban Islam yang religius. Karena rasionalitas atau modernitas itu tidak akan diterima secara luas kecuali ia mampu mengakomodir kecenderungan religius umat Islam.[35]

Karakteristik pemikiran Jabiri yang berusaha memenangkan salah satu kecenderungan berpikir dan menghantam kecenderungan lain adalah langkah yang membuat perkembangan akal menjadi statis dan tidak dinamis. Terbukti ia selalu memihak, semisal membela Suni dan menyerang Syiah, membela Burhan dan menyerang Irfan dan Bayan, ia juga memihak Islam Barat dan menyerang Islam Timur. Sehingga kajian Jabiri ini kemudian lebih berkutat pada kajian ideologis daripada kajian epistemologi yang objektif. Inilah yang membuat Jabiri tidak peka terhadap kelemahan rasionalitas, apalagi rasionalitas ala Aristoteles.

Jabiri tak memberlakukan dimensi kritis aql mukawwin (akal yang membentuk) dalam upaya mencari epistemologi yang relevan untuk pengembangan keilmuan dan peradaban umat Islam. Bahkan satu hal yang dilupakan lagi adalah karakteristik aql mukawwan (akal yang dibentuk) yang mampu menyatukan pemikiran yang ada di zamannya. Seharusnya Jabiri menyadari bahwa al-Ghzali adalah intelektual yang mampu menjadi ahli fikih, mutakallim dan juga sufi. Dan ar-Razi dan Ibn Sina adalah seorang gnostik, sekaligus dokter, filosof dan ahli kimia ruhani. Jabiri tak kritis dan menanyakan kenapa orang seperti ar-Razi bisa mengambangkan ilmu pengetahuan dan sains.

Jadi sebenarnya hal yang perlu dilakukan bukan pemutusan tapi akomodasi semua keilmua yang ada. Dan ujungnya bukanlah membuat zaman kodifikasi baru. Inilah yang membuat akal menjadi tidak dinamis. Yang perlu dilakukan adalah produksi ulang serta mendialektikakan keilmuan di masa lalu, di masa sekarang, dan di masa depan. Hanya dengan ini akal akan bergerak, berkembang, dan maju.

Penutup

Menurut Jean Pieget kajian epistemologi memang akan melahirkan 'krisis kebenaran' karena adanya kesalahan dalam metode sebelumnya. Tapi kemudian diselesaikan oleh metode baru setelahnya. Tapi itu bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Karena menurut Bagdan Suchodolsky sejarah ilmu adalah sejarah dialektika antara kebenaran dan kesalahan.[36] Jadi yang terpenting bagi pengkaji adalah selalu kritis dan rasional.

Kritik dan pengembangan juga merupakan tugas generasi masa sekarang untuk menyempurnakan karya generasi sebelumnya. Dari itu capaian Jabiri tidak boleh dibiarkan begitu saja, namun perlu dikembangkan. Abad posmodern ini tidak cukup hanya mengunggulkan rasionalitas Ibn Rusyd. Karena rasionalitas Ibnu Rusyd tak mampu mengapresiasi rasionalitas ala Suhrawardi dan Ibn Sina. Dan juga tidak bisa berpangku tangan pada Aristoteles saja, karena rasionalitas Aristoteles tidak mampu mewadahi rasionalitas Francis Bacon dan dan Husserl.

Jadi yang dibutuhkan masyarakat bukanlah rasionalitas ala Islam Barat. Namun yang dibutuhkan adalah sebuah epistemologi yang mampu mensinergikan antara rasionalitas dan humanitas. Itu bisa dikembangkan dari pemikiran Suhrawardi dan Husserl yang berupaya untuk meniadakan dualisme antara subjek pengkaji dan objek pengkaji. Sehingga setiap langkah masyarakat itu tidak hanya dengan akal saja tapi juga dengan intuisi. Apa yang melanggar intuisi dan humanitas sudah selayaknya ditinggalkan.



[1] Makalah ini dipresentasikan pada kajian rutin Fosgama, hari Sabtu, tanggal 30-9-2006

[2] Mahasiswa Fosgama Akidah Filsafat Tingkat IV

[3] Bandingkan dengan makalah yang ditulis Robith Qoshidi yang berjudul: Rekontruksi Ilmu Sejarah dalam Islam;

Merekontruksi Metode Historiografi dan Mengembangkan Filsafat Sejarah, tidak diterbitkan

[4] Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Scienc, diarabkan oleh Ahmad Muhammad Shubhy, Alam al-Ma'rifah. Kuwait, 1997, hal 71

[5] Adam Mez, Die Renaissance des Islams, diarabkan oleh M. Abdul Hadi Abu Raidah, Lajnah ta'lif wa at-tarjamah, Kairo, 1957, hal.304

[6] Abid Jabiri, Madkhal ila Falsafah al-Ulum, Markaz dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, hal 18

[7] Shalah Fadhl, Manahij an-Naqdi al-Muashir, Mirat li an-Nasyr, Kairo, 2002, hal 91

[8] Abid Jabiri, Takwin al-Aql al-Araby, Markaz dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 2002, hal 15. Bandingkan dengan Yusuf Karam, Tarikh al-Falsafah al-Haditsah, Dar al-Maarif, Kairo, 1986, hal 455

[9] Abd al-Ghina Barah, Isykaliyat Ta'shil al-Hadatsah, al-Haiah al-Ammah, Kairo, 2005, hal 96

[10] John Lechte, Fifty Key Contemporary Thinkers, Dialih bahasakan Ahmad Gunawan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal 234

[11] Shalah Fadhl, ibid, hal 91

[12] Sebenarnya penulis lebih memilih menggunakan istilah 'Arab-Islam' daripada istilah 'Arab' saja seperti yang digunakan Jabiri dalam bukunya. Karena ada perbedaan antara istilah 'Arab' dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Arab, istilah 'Arab' itu juga mempunyai makna Islam. Maka dari itu Abu Amr bin Ala' mengatakan bahwa ilmu Arab itu adalah agama Islam itu sendiri. Lain halnya dalam bahasa Indonesia yang bisa membedakan mana Arab dan mana Islam pada mayoritas situasi. Itulah yang membuat penulis kadang menggunakan Arab, kadang Islam, kadang Arab-Islam. Karena kata 'Arab' yang dipakai Jabiri memang berubah-rubah dan bermakna ganda. Dan kadang penulis menemukan adanya kesengajaan memilih kata Arab yang bermakna ganda ini untuk kepentingan 'kritik'nya. Maka dalam bukunya Jabiri menggunakan Arab yang kadang bermakna Arab, kadang Islam, kadang Arab-Islam.

[13] Abid Jabiri, ibid, hal 188

[14] Abid Jabiri, Bunyah al-Aql al-Araby, Markaz dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 2002, hal 333

[15] Abid Jabiri, Takwin al-Aql al-Araby, op cit, hal, 76

[16] Ibid, hal 78

[17] Bandangkan dengan makalah yang ditulis oleh Robith Qoshidi dengan Judul Evolusi Pemahaman Agama Islam, tidak diterbitkan

[18] Abid Jabiri, op cit, hal 84

[19] Abid Jabiri, op cit, hal 129

[20] Adonis, Ats-Tsabit wa al-Mutahawwil, Dar as-Saqi, Beirut, 2002, Vol II, hal 99

[21] Abid Jabiri, Turats wa al-Hadatsah, Markaz dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 2002, hal 173

[22] Bandingkan dengan makalah yang ditulis oleh Robith Qoshidi yang berjudul Relasi Tasawuf dan Politik, tidak diterbitkan

[23]Abid Jabiri, Takwin al-Aql al-Araby, op cit, hal 193

[24] Ibid, hal 195

[25]Abid Jabiri, Turats wa al-Hadatsah, hal 173

[26] Abid Jabiri, Takwin al-Aql al-Araby, hal 297

[27] Ibid, hal 304

[28] Bandingkan dengan Peta Epistemologi Pemikiran Islam Klasik, dalam bab Ibnu Rushd yang ditulis oleh Robith Qoshidi, terbitan Lakpesdam Mesir, 2006, hal.24

[29] Yahya Muhammad, Naq al-Aql al-Araby fi al-Mizan,al-Intisyar, Beirut, 1997 hal 29

[30] Mahmud Ismail, Fikrah at-Tarikh Baina al-Islam wa al-Marksiyah, Madbuli, Kairo, 1988, hal 106

[31] Hasan Muharram, Dirasah fi al-Mantiq al-Hadits wa Manahij al-Baht, Azhar, KAiro, hal 10

[32] Hassan Hanafi, Dirasahal-Islamiyah , Anglo Mishriyah, Kairo, hal 318

[33] Ali Sami an-Nasyar, Manahij al-Bahtsi Inda Mufakkiry al-Islam, Dar an-Nahdlah al-Arabiyah, Beirut, 1984, hal 304

[34] Yahya Muhammad, Madkhal ila Fahmi al-Islam, al-Intisyar, Beirut, 1999, hal 74

[35] Robert N Bellah, Beyond Belief, diindonesiakan oleh Rudy Harisyah Alam, Paramadina, Jakarta Selatan, 1991, hal 235. Penulis memodifikasi istilah medernisir dengan medernisir dan rasionalisasi

[36] Abid Jabiri, Madkhal ila Falsafah al-Ulu, op.cit, hal. 43

Tidak ada komentar: