Rabu, 15 Oktober 2008

Imam Syafi’ie

"Kajian Tokoh" B I N D H A R A

Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA)

Jum'at, 10 November 2006


Imam Syafi’ie[1]

(Sekilas Perjalanan)

Oleh; Abdul Hamid Rafiqi[2]

Sang Quraisy

Beliau bernama Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu beliau masih termasuk sanak saudara Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib[3].

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya, satu pendapat mengatakan ia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan pendapat yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah. Arrazi mengatakan; “ada dua pendapat tentang nisbah Imam Syafi’ie dari ibunya, yang pertama diceritakan oleh al-Hakim Abu Abdillah al-Hafidh, bahwa ibunda Imam Syafi’ie adalah Fatimah binti Abdillah bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, pendapat ini bertentangan dengan ijma’ (syadz). Pendapat yang kedua bahwa ibunda beliua adalah dari kabilah Azadiyah[4]. an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’ie adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Ia seorang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah[5]. Beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke Negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah yang berada di Yaman (Azadiyah). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Makkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Di Makkah, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal, ternyata sang guru rela membebaskan biaya administrasi. Setelah menyelesaikan hafalan Alquran, beliau kemudian pindah ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Dan itu terjadi pada saat beliau belum berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun[6]. Beliau juga tertarik mempelajari ilmu Bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda.

Sang Pengembara

Imam Syafi’ie mengembara mencari ilmu dan mengawalinya dari ulama-ulama Makkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Sufyan bin ‘Uyainah—ahli hadits Mekkah, Abdul Hamid bin abdul’Aziz bib abi zawad[7]. Di Makkah ini, beliau mempelajari ilmu Fiqih, Hadits, Gramatika Bahasa Arab, dan Muwaththa’ Imam Malik. Selanjutnya timbullah keinginannya untuk melanjutkan ke Madinah guna menimba ilmu dari para ulamanya. Selain kepada Imam Malik, beliau menimba ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya[8], ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘ad[9]. Setelah kembali ke Makkah, beliau kemudian melanjutkan “pengembaraannya”ke Yaman. Di sana beliau berguru kepada Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi

Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Makkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya karena kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam cacatan sejarah, Imam Syafi‘ie hidup pada masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Hal ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan. Imam Syafi’ie melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang besar dari penguasa. Maka Imam Syafi’ie menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun[10].

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah dan dihadapkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Namun, dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan—ahli fiqih Irak, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Akhirnya beliau bersih dari tuduhan dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yi. Untuk itu beliau berguru kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy juga Hamad bin Usamah al-Kufiy[11]. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak, beliau kembali ke Makkah dan mengajar di almamaternya.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Makkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dan menetap di sana selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 H, beliau kembali ke Makkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri, tetapi beliau hanya berada setahun di Makkah. Tahun 198 H, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh--yang selama ini dipegangnya—dalam memahami masalah-masalah syariat, karena itulah beliau menolak madzhab mereka[12].

Provokasi ahli kalam membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada ulama hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika beliau mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak mereka dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Di Mesir, beliau mendapat sambutan baik masyarakatnya. Di sana beliau tinggal selama 5 tahun yang diluangkan untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah). Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Salafy yang Taat

Dikatakan bahwa Imam Syafi’ei adalah seorang Faqih dan Muhaddist Salaf, di mana ‘aqidah-nya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif, Ta`wil, Takyif ,Tamtsil dan Ta’thil. Misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, sebagaimana As-Syafi’ie juga menyatakan bahwa Alquran bukan mahluk melainkan kalamullah. Diriwayatkan oleh Ar-Rabi' bin Sulaiman bahwa ia menyatakan: Aku mendengar as-Syafi’ie berkata: "Barangsiapa mengatakan bahwa Alquran itu makhluk, maka sungguh ia telah kafir".[13]

Beliau membenci ilmu kalam dan aliran-aliran yang bersandarkan kepada logika dan filsafat. As-Syafi’ie menyatakan: "Seandainya manusia faham/mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam (filsafat) dan hawa nafsu, niscaya ia akan lari daripadanya seperti ia lari dari macan." Ini menunjukkan bahwa beliau sangat waspada terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat. Terdapat banyak atsar tentang keengganan beliau kepada ulama Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.”

Namun bukan berarti as-Syafi’ie kering dari ilmu kalam, sebab ada diantara bab-bab yang beliau fatwakan berkaitan dengan ‘aqidah, sebagaimana fatwanya dalam hal half (sumpah) atas ilmu Allah, jika yang dimaksudkan ilmu adalah semua yang diketahui Allah maka sang pelanggar sumpah tidak diwajibkan kaffarah (denda), tapi kalau yang dimaksudkan adalah sifat Allah maka diwajibkan kaffarah. Dalam hal ini Arrazi berkomentar; “ ini menunjukkan bahwa as-Syafi’ei meyakini sifat Allah adalah bagian dari dzat-Nya[14].

Disamping itu as-Syafi’ie juga bertentangan dengan aliran Qadariyah yaitu aliran yang menolak beriman kepada rukun Iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta'ala). Juga aliran Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Murji'ah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah. As-Syafi’ie menyatakan bahwa hakikat iman adalah tashdiq dan ‘amal, jika demikian maka iman akan berkurang dan bertmbah sebagaimana amal yang diperbuat[15].

Beliau terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri) dan ketundukannya pada kebenaran, wara, ketakwaan dan ketinggian martabatnya. Di sisi lain beliau juga ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih tercatat dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.” Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam as-Syafi’ie membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Pembela Sunnah

Imam as-Syafi’ie dijuluki oleh kalangan ahli Hadits sebagai Nashir as-Sunnah (pembela as-Sunnah)[16]. Ini tentu saja merupakan penghargaan terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.

Di masa beliau, timbul berbagai macam aliran keagamaan yang mayoritas selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok Sebagai mana yang telah ditulis as-Syafi’ie dalam bukunya "Jama' al-Ilm" dari kitabnya "al-Um". Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila senalar dengan Alquran. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak Hadits Ahad[17].

Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas. Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari Alquran. Demikian pula terhadap kelompok kedua, implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.

Sedangkan terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumen-argumen seperti; pengiriman 12 utusan oleh Rasulullah kepada 12 raja untuk menyampaikan risalah Islam. Bila angka mutawatir tersebut urgen, tentu Rasulullah merasa tidak cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk tidak percaya kepada utusan tersebut[18].

Wafatnya Sang Penulis

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang parah dan selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 H, dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya yang luas.

Sekalipun beliau hidup relatif singkat, selama kurang lebih setengah abad, dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisi) mengenai Alquran dan as-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.



[1] Disampaikan pada kajian tokoh FOSGAMA, jum’at,10 November 2006 di Sekretariat FOSGAMA

[2] Orang kampung biasa yang berada di lingkunagn orang-orang luar biasa dan istimewa.

[3] Lajnah min qism al fiqh bi kulliyah al syari’ah wa al qanun bi al qahirah,hidayatuthalib ila al bahst fi fiqh al mazdahib, hal.89.

[4] Abu zahrah, Al Safi’ie hayatuhu wa ‘ashruh ; ara`uhu wa fiqhuhu,(Beirut:Dar el-Fikr Arabi,1997) hal.17

[5] Abu zahrah_ibid _57.

[6] Az-Zahabi meragukan kesahihan riwayat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’ei menghafal muwattha’ pada usia 10 tahun. menurutnya, beliau menghafal kitab Imam Malik ini bebarapa saat sebelum beliau datang ke Madinah, yakni ketika usianya 23 tahun.

[7] Prof.Dr. Muhammad Ibrohim_ mushthalahat fuqaha’i wa al ushuliyyin_ dar Assalam_123.

[8] Seorang Mu’tazilah, namun As-Syafi’ie hanya berguru dalam disiplin ilmu tafsir dan hadist.

[9] Prof.Dr. Muhammad Ibrohim_ ibid _123.

[10] Sikapnya ini yang membuat dirinya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah, melainkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih

[11] Prof.Dr. Muhammad Ibrohim_ ibid _123

[12] Abu zahrah_ibid _27.

[13] HR. Abu Nu'aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyahnya juz 9 hal. 113 (dikutip dari mediasalafy@yahoogroups.com)

[14] Abu zahrah_ibid _123

[15] Abu zahrah_ibid _124

[16] Arrazi_manaqib al Syafi’ie_194.(dikutib dari Ta’sis al Manhaj al Wasatgi fi Ushul al Fiqh ‘inda al Imam al Syafi’ie_’Iffatu al Amniyah_143)

[17] Abu zahrah_ibid _191.

[18] Abu zahrah_ibid _202.

Tidak ada komentar: