Kamis, 16 Oktober 2008

Imam Hanafi

"Kajian Tokoh" B I N D H A R A

Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA)

Jum'at, 10 November 2006


Imam Hanafi (Nâshiru al-Ra’yi)*

Oleh: Ali Zainal Adzim*

Sekelumit tentang Abu Hanifah

Di awal sebuah kitab yang sangat sederhana sekali “ Abu Hanifah, hayatuhu wa ashruhu-Arâ’uhu wa Fiqhuhu” buah tangan Abu zahroh terdapat beberapa bab khusus yang menuliskan autobiografi Abu Hanifah atau Imam Hanafi, di sana dijelaskan dengan terperinci mengenai biografi, perjalanan, profesi, karir politik dan kejadian kejadian- kejadian bersejarah yang ada sangkut pautnya dengan Abu Hanifah, Mungkin kalau sekarang mirip dengan buku yang memuat profilnya seseorang. Saya kira dari situ kita akan mengetahui bahwa Imam Hanafi adalah keturanan Persia[2], di mana nenek moyangnya tercatat sebagai Ahli Kabil Perisia. seorang fakih, pedagang terkemuka dan seorang sosok hamba Tuhan yang sangat cerdas luar biasa, baik dalam ilmu fiqih ilmu kalam, politik dan sejarah hal itu terbukti ketika abu Hanifah diminta untuk menjadi seorang Qadi kerajaan pada masa dinasti abbasiah oleh Khalifah al-Mansur toh walaupun pada akhirnya beliau menolak permintaan itu.

Sedangkan nama panjangnya Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Zhuthi' ada juga yang berpendapat bahwa nama panjangnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Nu’man bin al-Murziban Lahir di Kufah Iraq—pusat peradaban dan ilmu pengetahuan waktu itu—pada tahun 80 H/699 M, di sebuah keluarga yang tidak pernah pudar dengan kerukunan dan ketentraman, ayahnya bernama Tsabit bin Zhuti’ al-Farisi seorang pedagang besar dan terpandang, sempat hidup bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib radiallahu anhu. Laiknya mereka yang menekuni agama sejak kecil Imam Hanafi belajar Alquran sekaligus menghafalnya, sampai ketika masa remajannya Imam Hanafi lebih menyibukkan diri sebagai pedagang laiknya profesi yang telah begitu lama ditekuni dan digeluti oleh ayahnya, ketimbang bergelut dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama[3], karena bagi Imam Hanafi menjadi seorang faqih di dalam istimbath sebuah hukum bukanlah tujuan utama di dalam hidupnya, apa lagi sebagai seorang yang menyandang perdikat mujtahid mutlak dan pendiri salah satu mazhab Islam yaitu “Mazhab Hanafi”, namun bukan berarti Imam Hanafi bukan orang yang cerdas dan brilian di dalam masalah-masalah keilmuan lantas Imam Hanafi tidak begitu menekuni bidang keilmuan.

Imam Hanafi adalah salah satu sosok hamba Allah yang sangat cerdas dan brilian dalam menangkap ilmu-ilmu agama, oleh karena kecerdasan berfikir dan penangkapannya terhadap ilmu-ilmu Tuhan, maka suatu waktu Abu Hanifah bertemu dengan seorang yang alim pada masanya yaitu al-Sya’bi, karena melihat kepintaran dan kecerdasan yang luar biasa yang terpendam dalam jiwa Abu Hanifah maka al-Sya’bi menganjurkan dan menasihati Abu Hanifah agar memfokuskan terhadap ilmu-ilmu agama. Atas anjuran, nasehat dan dorongan al-Sya’bi akhirnya Abu Hanifah terjun dan lebih menggeluti bidang keilmuan dari pada perdagangan[4] seperti yang telah saya sebutkan di atas. Kemudian Abu Hanifah mulai menggeluti masalah-masalah keilmuan dan mendalaminya mulai dari ilmu-ilmu qira’at, bahasa Arab, ilmu fikih, ilmu kalam dan lain sebagainya[5]. Abu Hanifah lebih banyak meluangkan waktunya di dalam mendalami ilmu-ilmu agama, ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa Abu Hanifah lebih menekuni dan meminati ilmu Hadits dan Fiqih waktu itu. Kemudian Abu Hanifah meneruskan pencarianya akan ilmu- ilmu Tuhan “belajar” dengan berguru kepada al-Sya’bi dan beberapa tokoh ilmuwan di Kufah bahkan ada yang menyatakan kalau grur-guru Abu Hanifah di Kufah berjumlah 93 orang.

Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya, pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah S.W.T mengabulkan doa Ali tersebut. Dan Abu Hanifah at-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan beliau punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.

Bagi penulis kiranya tidak begitu berlebihan ketika orang-orang yang hidup semasanya, semisal al-Suyuti yang notabeninya sebagai ulama’ bermazhab Syafi’i menulis sebuah buku semacam autobiografi Abu Hanifah “tabyidu as-Shahifah fi manaqibi al-Imam Abi Hanifah” dan Ibnu Hajar al-Haistami “al-Khairatu al-Hassan fi manaqibi al-Imam al-A’dham Abi Hanifah” kemudian As-sya’rani dan yang lainya, disinyalir dengan perkataan mereka bahwa Abu Hanifah adalah hamba Tuhan yang sangat bijak mempunyai badan yang tinggi, memiliki postur tubuh yang sangat bagus, jelas ketika menyampaikan perkataan-perkataan serta gagasan-gagasanya dan ada juga yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah tidak lepas dari wewangian, serta sangat sopan penuh kasih sayang terhadap sesamannya. Ketika beliau berkumpul di sebuah majlis al-Ilmi bersama rekan-rekan dan para sahabat yang semasa dengannya, dan Abu Hanifah dikenal pendiam (tidak pernah membicarakan hal-hal yang tidak ada artinya, tidak berguna),[6] pada masa itu Abu Hanifah disibukkan dengan berbagai macam keilmuan lebih-lebih Hadits/astsar hal itu terbukti ketika Abu Hanifah mengembara yang kemudian Abu Hanifah bertemu dengan Anas bin Malik dan menimba ilmu darinya, beliau juga belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fikihnya, Abu Ja’far al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat. Abu Hanifah juga ahli dalam bidang Fikih dan Ilmu Kalam, maka tidak ayal lagi kalau berbagai permasalahan keilmuan baik yang berkaitan dengan Fikih atau 'akidah yang dirasa sulit atau belum ditemukan titik pemecahannya dikembalikan atau ditanyakan langsung kepada Abu Hanifah. Di dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Abu Hanifah pernah bercerita, ketika pergi ke kota Bashrah, Abu Hanifah berkata, “Saya sangat optimis sekali untuk menjawab, maka ketika ada orang yang bertanya kepada saya tentang sesuatu apapun, saya akan menjawabnya, maka ketika diantara mereka ada yang bertanya kepada saya tentang sebuah masalah lantas saya tidak mampu dan tidak bisa menjawabnya, maka saya memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka dari itu saya tinggal bersamannya kurang lebih 10 TH[7].

Maka untuk memahami alur pemikiran dan gagasan gagasannya yang berkaitan dengan ilmu kalam, fikih dan politik pada masanya, yang pertama harus dilakukan adalah mengetahui terlebih dahulu secara benar dan mendetail pola tanggap dan pola pikir Abu Hanifah, sang pemikir politik pada masanya, sekaligus sang fakih ini.

Politik pada masa Abu Hanifah

Ketika kita membicarakan seorang tokoh hamba Tuhan Abu Hanifah yang sangat brilian di dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan keilmuan maka kita tidak akan lepas dari dua dekadensi yaitu Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiah karena Abu Hanifah menyisihkan hidupnya selama 52 Tahun pada masa Umayah 18 Tahun pada masa Dinasti Abbasiyah[8], maka apabila kita sudah bersinggungan dengan dua dekadensi tersebut tentu kita juga tidak akan lepas dari Unsur Politik dan tata Negara waktu itu.

Sebelum penulis memaparkan gagasan-gagasan Abu Hanifah mengenai khilafah, syarat syarat khilafah serta Asas dari Khilafah itu sendiri maka penulis ingin sedikit menguak wajah pergolakan politik pada masa Pasca dinasti Umayyah. Berawal dari wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah satu era, Al-Khulafa al-Rasyidin, dan berakhir pula sebuah tradisi pengisian jabatan kepala Negara melalui Rembeg[9]. Mu’awiyah bin Abu Sufyan mendapatkan kedudukan sebagai khalifah tidak melalui Rembeg (Musyawarah) lagi atau persetujuan dari tokoh-tokoh masyarakat waktu itu akan tetapi lewat ketajaman pedang dan tipu muslihat. Kemudian di akhir hayatnya dia menunjuk anaknya Yazid, anaknya sebagai calon penggantinya nanti. Dan di situlah titik awal dari lahirnya sistem Monarki atau kerajaan, yaitu pengisian jabatan kepala Negara yang ditentukan atas dasar keturunan, dan dari situlah dibangun dinasti Umayah.

Dari perkembangan kehidupan kenegaraan pada masa itu dan masa sesudahnya kiranya tidak banyak hal yang perlu mendapat perhatian dalam tulisan ini, karena saya kira tidak mempunyai relevansi dengan kajian ulang ini, dari hal tersebut kiranya kita memahami bahwa: baik selama kekuasaan Umayah maupun Dinasti Abbasiah hampir sama sekali tidak terjadi perubahan-perubahan yang diprakarsai atau dilakukan para penguasa yang bersifat konsepsional dan yang mencerminkan pengembangan atau aplikasi ajaran Islam tentang tatanegara, sekalipun demikian dari priode itu terdapat juga beberapa hal yang patut dicatat untuk kelengkapan observasi dan keseimbangan penilaian. Umat Islam pada umumya dan barangkali termasuk kita, cenderung untuk menyalahkan Mu’awiyah atas berakhirnya tradisi pengisian jabatan kepala Negara melalui musyawarah, oleh karena memang ia sendiri selanjutnya menjadi khalifah tidak melalui prosedur tersebut, bahkan merebutnya dengan kekerasan, tipu daya dan kelicikan, dia pula yang merintis sistem monarki atau kerajaan dengan kepala Negara turun-temurun. Tetapi tidak adil kiranya kalau tanggungjawab terjadinya perubahan itu sepenuhnya kita lemparkan kepada Mu’awiyah, oleh karena pada waktu itu terdapat banyak faktor objektif yang tidak banyak mendukung di pertahankannya sistem musyawarah waktu itu, kiranya ada dua catatan besar mengenai hal ini.

Pertama, sebagaimana halnya pada zaman Yunani kuno, dengan tingkat kemajuan waktu itu, kala perhubungan antar wilayah di lakukan dengan berjalan kaki atau naik binatang tunggangan, nah pengangkatan peminpin dengan musyawarah mungkin karena disebabkan Negara itu belum luas atau Negara itu masih merupakan apa yang dinamakan dengan “Negara state” (City state) seperti Madinah pada tahap pertama pertumbuhan Negara Islam. Tetapi setelah wilayah itu membentang luas, dengan munculnya komunitas-komunitas Islam baru di wilayah-wilayah yang jauh dari Madinah, maka dengan sarana yang primitif pada waktu itu, ketika perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain memakan waktu panjang, bahkan berhari-hari, boleh dikatakan sistem musyawarah tersebut sulit untuk dilaksanakan, kemudian alasan yang dikedepankan oleh Mu’awiyah mengapa membangkang terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib adalah Pertama Ali harus mempertanggung jawabkan terlebih dahulu atas terbunuhnya Ustman ra. Kedua hak untuk menentukan siapa yang harus menjadi khalifah bukan monopoli penduduk Madinah saja, tetapi komunutas-komunitas Islam yang terdapat di berbagai wilayah Islam lainnya, penulis cendrung untuk menyatakan bahwa kedua alasan tersebut dikemukakan oleh Mua’awiyah untuk menutupi ambisi politknya, akan tetapi alasan yang kedua itu bukan tidak berdasar

Kedua. Kalau dalam periode Madinah saja ketika sahabat-sahabat senior masih lengkap dalam penunjukanya kepada Umar sebagai penggantinya. Abu Bakar hanya mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat saja, dan tidak membawa masalah itu kepertemuan terbuka, kalau diperhatikan betapa besar keprihatinan sahabat sepuluh setengah tahun kemudian seandainya Umar wafat sebelum memilih penggantinya, maka dapat dibayangkan kalau pengisian jabatan kepala Negara ditentukan melalui musyawarah setelah wilayah kekuasaan Islam sudah sedemikan dan sahabat-sahabat nabi tersebar ke wilayah-wilayah baru yang berlangsung sejak masa kepemerintahan Ustman. Dalam pada itu pemerintah negara-negara lain di luar negara Islam pada waktu itu, seperti halnya Bizantium, Persia dan Cina semuanya juga bebentuk kerajaan, juga alternatif lain yang terbuka bagi umat Islam waktu itu tidak lain hanyalah monarki, sepeninggal Ali pengikutnya mengangkat Hasan, putra Ali sebagai khalifah, kemudian Husein dan seterusnya dari keturunan Ali dan Fatimah, demikian juga halnya ketika Dinasti Umayyah runtuh, pemerintahan yang didirikan oleh kelompok Quraisy yang lain dari keturunan Abbas, paman nabi juga berbentuk monarki. Golongan khawarij, satu kelompok yang berpendirian bahwa jabatan khalifah itu terbuka bagi tiap muslim yang mampu dan tidak harus suku Quraisy, justru terkucilkan dari dunia Islam, baik pendukung Ali ataupun pengikut Mu’awiyah keduannya berpendirian bahwa kepeminpinan dunia Islam merupakan monopoli suku Quraisy bahkan bagi kelompok yang pertama lebih dipersempit lagi, jabatan khalifah atau imam itu harus dari keturunan nabi atau Ahl-al-Bait.

Maka dari beberapa uraian singkat di atas saya mencoba untuk mengkaitkannya dengan pandangan dan gagasan-gagasan Abu Hanifah bin Nu’man mengenai Khilafah, syarat-syaratnya dan asas dari khilafah itu sendiri seperti yang telah saya singgung di depan, sebenarnya tidak begitu banyak yang saya tangkap dan saya ketahui mengenai pola pandang Abu Hanifah mengenai sistem Khilafah tapi yang jelas Abu Hanifah sependapat dengan Golongan kahwarij yang mengatakan bahwa jabatan, penetapan khilafah itu dengan adanya musyawarah dan juga terbuka bagi tiap muslim yang mampu dan tidak harus suku Quraisy, dengan kata lain bahwa khilafah itu atau kepeminpinan yang ideal satu negara akan sempurna apabila menggunakan sistem musyawarah tanpa adannya sistem monarki seperti halnya yang telah dipraktekkn oleh dinasti Umayah, hal itu terbukti ketika Abu Hanifah berkata kepada Rabi’ bin Yunus pada waktu itu[10] toh walaupun di dalam salah satu buku yang saya kira sangat sederhana sekali buah tangan abu zahroh “Abu Hanifah, Hayatuhu wa asruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu” dikatakana bahwa Abu Hanifah mempunyai kecondongan dan ke samaan dengan kelompok-kelompok Syi’ah yang mengharuskan khilafah itu dari Ahl al-Bait.

Al-arâ’ Abu Hanifah tentang Ilmu Kalam

Sebelum melangkah terhadap pandangan-pandangan Abu Hanifah mengenai Ilmu Kalam kirannya tidak begitu berlebihan apa bila penulis ingin sedikit memaparkan pertumbuhan ilmu kalam itu sendiri. Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang Agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.[11]

Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafatnya Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusuran ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah ke-III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka, Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu. Biar tidak begitu panjang lebar, seperti yang saya kutip di depan bahwa Imam Abu Hanifah di samping sebagai fuqaha’ dia juga ahli dalam bidang ilmu kalam tidak mustahil kiranya apabila Abu Hanifah menganggap penting disiplin ilmu ini hal itu terbukti ketika Abu Hanifah menulis beberapa buku katakanlah seperti, al-Fiqhu al-Akbar dan al-Alimu wa al-Muta’allimu dan lain-lain. Buku-buku tersebut merupakan olah fikir sekaligus sebagai respon Abu Hanifah atas ilmu kalam, maka dalam hal ini ada empat poin penting (yang saya kira tidak usah disebuktkan secara terperinci) mengenai gagasan-gagasan Abu Hanifah mengenai ilmu al-Kalam. Yaitu tentang Iman, Qada’ dan Qadar, dan mengenai adannya Alquran, mahkluk atau qadim , tentang iman (keimanan) di dalam buah karyanya al-Fiqhu al-Akbar Abu Hanifah mendifinisikan iman, bahwa iman adalah : al-Iqrar wa at-Tasdiq[12] begitu pula ketika Abu Hanifah mendifinisakan Islam bahwa Islam itu adalah: melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah swt, maka apabila kita melihat definisi Abu Hanifah (dari segi redaksi) mengenai Islam seolah-olah di sana ada titik perbedaan antara Islam dan iman, namun sebenarnya bagi Abu Hanifah antara Islam dan iman sama sekali tidak ada perbedaan dari segi hakikat dan makna. Terbukti bahwa tidak akan ada iman tanpa Islam juga sebaliknya tidak akan ada Islam apabila tidak ada iman[13] maka dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa Abu Hanifah tidak hanya mendefinisikan iman dengan at-Tasdiq semata, akan tetapi mengkaitkannya dengan iqrarun bi al-Lisan dengan kata lain bahwa iman versi Abu Hanifah tersusun dari dua pembagian, keyakinan yang tetap dan kepasrahan yang ditunjukkan dengan adannya pengakuan lewat perkata’an “Qauli” dari hal inilah imam Abu Hanifah cendrung mengatakan bahwa selagi orang yang melakukan dosa besar dan tidak melakukan perintahnya masih mempercayai adanya Tuhan dan mengakuinya dengan hati nurani maka orang tersebut masih tetap berada dalam tatanan agama Islam (Tidak kafir) toh walaupun pada masanya sangat banyak sekali orang-orang atau bahkan kelompok yang menentang terhadap asumsi Abu Hanifah berkaitan dengan masalah iman. Seperti halnya Mu’tazilah, Khawarij, Fuqaha’ dan Muhaddisun waktu itu. Kemudian mengenai keotentikan hamba Tuhan dengan takdir-Nya, Abu Hanifah sangat rasional sekali ketika kelompok Jabariah mendatanginya untuk mendialogkan mengenai konsep jabarnya, maka apabila Kelompok Jabariah menyatakan dengan mutlak bahwa manusia di dalam segala tindakannya lepas dari kekuasaan Tuhan maka Abu Hanifah tidak serta merta menjustifikasi dan memutlakkan bahwa pendapat mereka itu benar dan salah tapi yang jelas Abu Hanifah seolah-olah mengatakan bahwa yang buruk itu dari Allah kemudian yang baik datangnya dari sang maha pencipta[14]. Begitupun dengan permasalahan-permasalahan yang lainya Abu Hanifah sangat kritis dan praktis ketika menetang dan membrikan jawaban terhadap kelompok-kelompok firqah pada masanya.

Metodelogi istimbath al-Hukm Abu Hanifah dan implikasinya

Memang tidak dapat di elakkan lagi, selain Abu Hanifah memahami Ilmu al-kalam Abu Hanifah juga mempunyai kecendrungan yang kuat di dalam menggunakan Ra’yu ketika merespon peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan syari’ah Tuhan, latar belakang pendidikan, guru, dan kondisi social dan cultural pada waktu itu turut mempengaruhi di dalam menentukan dan membentuk pola pandang corak ijtihad yang di pakai oleh Abu Hanifah ketika mengistimbath sebuah hukum. Dari pola pandang dan metodelogi yang di pakai oleh Abu Hanifah mengundang bermacam kritik (Naqd) dan penentangan (Ta’arudh) dari kelompok-kelompok yang cendrung menganggap Abu Hanifah terlalu rasional, bahkan ada yang menjustifikasi bahwa Abu Hanifah menyamai Mu’tazilah yang sangat rasional ketika menafsiri kalam Tuhan dan mengistimbath sebuah hukum, toh walaupun sebenarnya Abu Hanifah sendiri menyangkal terhadap kritik, pernyataan-pernyataan berbagai kelompok yang telah menjustifikasi bahwa Abu Hanifah lebih mengedepankan akalnya, (Ra’yu) hal itu terbukti ketika Abu Hanifah menyatakan dan berkata, “Saya sangat heran sekali dengan orang-orang yang mengatakan bahwa, seolah olah saya telah berfatwa hannya dengan Ra’yu padahal sebenarnya saya tidak pernah memberikan fatwa kecuali dengan landasan atau argument Atsar (al-sunnah dan pendapat sahabat) dan al-Kitab (Alquranul Karim), maka sangat tidak dapat dibenarkan meraka yang mengatakan bahwa saya lebih mengedepankan qiyas daripada Nash, bagi saya itu merupakan tuduhan tidak benar dan tanpa landasan yang tepat” seolah-olah Abu Hanifah ingin mengatakan apabila sebuah masalah sudah diputuskan dengan jelas oleh nash apakah masih memerlukan qiyas? Kemudian menurut mereka yang semasa dengan Abu Hanifah bahwa Abu Hanifah tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan yang memaksa maka apabila Abu Hanifah tidak menemukan dalil di dalam Alquran dan Hadits ketika berhadapan dengan sebuah masalah yang berkaitan dengan hukum Islam maka pada waktu itulah Abu Hanifah memfungsikan qiyas yang berdasarkan manthuq nas.

Jikalau Abu Hanifah mengambil satu hukum dari hadits-hadits yang berbeda dengan ulama-ulama yang lainya, itu bukan berarti argumen yang semata-mata dibuat-buat oleh Abu Hanifah akan tetapi karena kedalaman dan ketangkasan Abu Hanifah mengenai istimbatul-Hukm dan masih banyak sekali mereka yang semasa dengan Abu Hanifah yang menyatakan kalau Abu Hanifah sangat tangkas dan piawai dalam bidang hadits dan istimbath hukum Islam seperti halnya Abu Yusuf yang kapasitasnya sebagai mujtahid fi al-Mazhab al-Hanafi.

Dari hal ini kiranya dapat dirumuskan bahwa metodologi yang digunakan oleh Abu Hanifah untuk istimbath hukum, ada tujuh hal pokok, yaitu adalah: Alquran, al-Sunnah, Qaul al-Shahaby, Ijma’, Qiyas, Istihsan dan al-Urf. Mengenai penggunaan Abu Hanifah terhadap Alquran, penulis kira tidak perlu dibicarakan panjang lebar karena sudah jelas seperti apa dan bagaimana Abu Hanifah menggunakan Alquran untuk kemudian istimbath sebuah hukum. Kemudian mengenai penggunaan al-Sunnah Abu Hanifah menggunakan hadits-hadits yang mutawatir, masyhur dan ahad, serta menguatkan hujjah-nya dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah, namun Abu Hanifah mengambil dan menggunakan Hadits Ahad apabila Hadits Ahad tersebut diriwayatkan oleh perawi yang benar-benar tsiqah, sebagai contoh, tentang mengangkat tangan ketika ruku’ dan i’tidal saat takbir intiqal maka dalam hal ini Ketika al-Auza’i mangatakan bahwa diharuskan mengangkat tangan bagi orang yang ruku’ dan i’tidal saat takbir intiqal Maka Abu Hanifah sebaliknya (tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan i’tidal saat takbir intiqal) karena Abu Hanifah berpedoman terhadap riwayat Hammad sedangkan al-Auza’i berpedoman terhadap riwayat az-Zuhri di mana Hammad lebih tsiqah dan lebih alim di bidang fiqih kalau dibandingkan dengan al-Zuhri.

Dalam menerima pendapat para sahabat r.a, Abu Hanifah berpendapat bahwa pendapat para sahabat r.a boleh diambil atau digunakan sebagai dasar atas pemutusan sebuah hukum, hal ini karena mereka menyaksikan penurunan ayat-ayat Alquran dan mengetahui sebab-sebab turunya ayat tersebut dan mereka juga merupakan pewaris ilmu Rasulullah dan menjadi panutan bagi orang-orang yang akan datang. Abu Hanifah tidak berpedoman terhadap pendapat-pendapat tabi’in sebagai sumber hukum karena mereka merupakan generasi yang tidak mempunyai kesempatan hidup bersama Rasulullah SAW. Oleh karena itu dalam mengeluarkan pendapat, mereka hanya berijtihad.

Mengenai ijma', Abu Hanifah menetapkan bahwa ijma’ yang boleh digunakan adalah ijma’ para mujtahid, yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah s.a.w, dalam masalah yang berkaitan dengan syar’i bukannya aql, dan disetujui secara lisan, atau Syukuti seiring dengan perjalanan waktu dan zaman

Adapun berkenaan dengan qiyas, seperti yang telah di nyatakan sendiri oleh Abu Hanifah digunakan apabila dalam keadaan yang sangat terpaksa (tidak ada dalam Alquran dan Sunnah) berkaitan dengan qiyas, Abu Hanifah membedakan qiyas menjadi dua, yaitu qiyas Jalli (jelas) dan qiyas Khafi (tidak jelas) menurut Abu Hanifah, qiyas jalli adalah satu aspek yang dapat difahami secara langsung, sementara aspek tersebut tidak bertentangan dengan aspek lain yang menuntut untuk di-tarjih. Sedangkan qiyas khafi adalah istihsan. Menurut al-Kharkhi salah seorang ahli usul mazhab hanafi bahwa istihsan berarti : Meninggalkan kepastian qiyas, kepada qiyas yang lebih kuat, atau mengkhususkan qiyas itu sendiri dengan yang lebih kuat.[15]

Kemudian Al-Urf adalah pekerjaan atau kebiasaan umum masyarakat Islam yang tidak bertentangan dengan Alquran, Hadits atau perbuatan para sahabat r.a.

kira-kira Inilah ulasan singkat mengenai metodologi Abu Hanifah dalam konteks sumber yang menjadi rujukan Abu Hanifah dalam istimbath hukum. Adapun dalam konteks metodologi ijtihadnya sendiri, atau dalam kontek cara Abu Hanifah menganalisa nash syariah, maka beliau tidak hanya berpegang pada apa yang tersurat, tetapi juga berpegang pada ma'qul an-nas. Misalnya, ketika fuqaha Ahl al-Hadits menyatakan bahwa zakat harus dikeluarkan seperti apa adanya, sebagaimana yang dinyatakan dalam nash, tetapi Abu Hanifah menyatakan, bahwa zakat tidak harus dikeluarkan seperti apa yang tersurat, tetapi boleh dibayarkan nilainya, sehingga boleh dibayar dengan uang atau makanan yang sama nilainya dengan zakat tersebut. Nah Di sinilah, letak keistimewaan fuqaha’Ahlar-Ra’yi.

Kemudian dalam konteks metodologi istimbath, atau dalam konteks makna bahasa yang digunakan untuk memahami nash, Abu Hanifah berdasarkan pertimbangan yang tidak hannya berpegang terhadap makna yang lazim digunakan. Misalnya, kebanyakan ulama menafsirkan hadits: “Al-Bayyiani bi al-Khiyar ma lam yatafarraqa” jika mereka menafsirkan dengan maksud bahwa, penjual dan pembeli berhak memilih untuk meneruskan jual beli atau sebaliknya (membatalkannya) selama belum berpisah, dengan penafsiran (Tafarruq al-majlis), akan tetapi sebaliknya Abu Hanifah menafsirkannya dengan (Tafarruq al-Qaul), dengan kata lain menurut Abu Hanifah, jual beli tersebut sudah sempurna dengan adanya ijab dan Qabul sekalipun kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli belum berpisah dari majlis tersebut. Lalu bagaimana mungkin, setelah terjadinya ijab dan qabul (menurut pandangan Abu Hanifah) di mana jual belinya sudah sah, masih perlu untuk memilih antara meneruskan atau membatalkan jual belinya? Justeru dengan logika seperti inilah, pandangan Abu Hanifah lebih sulit dibandingkan dengan ulama yang lain.

Contoh lain yang membedakan Imam Abu Hanifah ini, misalnya, dalam kasus tertawa dalam shalat. Abu Hanifah berpendapat, bahawa ketawa terbahak-bahak dalam shalat bukan saja membatalkan shalat, tetapi juga membatalkan wudhu. Sebaliknya, ulama yang lain menyatakan, bahwa yang batal hanya shalatnya saja, sementara wudhunya tidak batal dan masih sah. Status hadits yang digunakan oleh Abu Hanifah dalam masalah ini, ada yang yang mursal dan ada yang musnad, meskipun terbukti sebagaimana hasil tarjih Wahbah az-Zuhaili bahwa seluruh hadits yang statusnya musnad tersebut ternyata lemah, sehingga Abu Hanifah menggunakan hadits mursal. Sebaliknya, ulama lain tidak menggunakan hadits tersebut, kerana tarafnya yang dianggap lemah. Dan seterusnya.

Wafatnya Abu Hanifah

Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-II, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk kemudian diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja Abu Ja’far Al-Mansur karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sulthan (raja). Beliau ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di dalam penjara, tepatnya pada Bulan Rajab Tahun 150 H dalam usia 70 tahun.

Penutup

Kira kira hanya itulah yang bisa penulis rangkai mengenai sosok hamba Tuhan –-Abu Hanifah--yang di sana-sini masih banyak kesalahan baik dalam penulisan ataupun dalam penyusunan kata-kata. Akhirnya, penulis minta maaf apabila ada kesalahan di sana-sini dan mohon dibenahi untuk selanjutnya. Wallahu A’lam.



*. Makalah ini di presentasikan Pada kajian Tokoh FOSGAMA pada tanggal 10 November 2006.

*. Aggota FOSGAMA Fakultas Ushuludin

[2]. ada beberapa kelompok yang berbeda mengenai nasab Imam Hanafi, ada yang mengatakan beliau keturuna Babilonia, juga ada yang mengatakan bahwa Imam Hanafi keturunan Arab di mana pendapat ini di sinyalir oleh orang-orang yang cendrung fanatik terhadap Mazhab Hanafi, juga ada yang mengatakan kalau Imam Hanfi keturunan Nasa dan Ambar, namun menurut berbagai sumber sejarawan ataupun kisah dari orang-orang yang semasa dengannya bahwa pendapat yang paling kuat adalah bahwa Imam Hanafi keturunan Persia.

[3]. Manaqibu abi Hanifah Li al-Makki Hal: 59 Jilid 01

[4] Al-imam Abu zahroh, Abu Hanifah, Hayatuhu wa asruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu Daru al-Fikri al-Arabi Cet, 2, 1997, hal, 21

[5]. Ada berbagai riwayat yang menyatakan bahwa Abu Hanifah pada awalnya lebih condong dan lebih menekuni ilmu kalam, baru setelah Abu Hanifah mengenal dan mendalami ilmu kalam mengenal dan mendalami ilmu fiqih, tak ada yang mendorong Abu Hanifah pada awalnya untuk lebih mendalami ilmu kalam di karenakan unsur kea’adan dan kondisi di mana pada waktu itu berbagai aliran faham mulai dari syi’ah khawarij murji’ah memanas ketika mereka mengungkap sebuah masalah yang berkaitan dengan Alquran(al-Madkhal li Dirasah ilmil al-kalam- Hasan mahmud as-Syafi’i)

[6]. Lajnah qism al-Fiqh al-Azhar university, Hidayah al-Thalib ila al-Bahzt fi fiqh al-Madzahib. Al-Azhar university, Cet 1, 2004-2005, hal 6

[8]. Al-imam Abu zahroh, Abu Hanifah, Hayatuhu wa asruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu Daru al-Fikri al-Arabi Cet, 2, 1997, 31

[9]. Bahasa madura di mana kalau di indonesiakan berarti “Musyawarah” J….

[10]. Al-manaqib li ibni al-Bazzary, Jilid 2, Hal,16

[11]. Doktor Mahmud al-Syafi’I, Al-madkhal ila dirasati Ilmi al-Kalam, Maktabah Wahbah, Cet 02, Hal 15

[12]. Abu Hanifah, Al-Fiqhu al-Akbar, Hal 10

[13]. Abu Hanifah, Al-Fiqhu al-Akbar, Hal 11

[14]. Al-imam Abu zahroh, Abu Hanifah, Hayatuhu wa asruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu Daru al-Fikri al-Arabi Cet, 2, 1997, hal 158

[15]. Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi al-Fiqh al-Muqaran, Bairut: Dar al-andalus, 1979, Hal. 361

Tidak ada komentar: