Kajian Tematik Bindhara
Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA)
Sabtu, 06 September 2008 di sekretariat FOSGAMA
Taqlid
(antara bahaya dan kebutuhan kaum awam)
Oleh: Moh. Marzuq Mahfudz
Muqaddimah
Taqlid merupakan fenomena lama yang muncul bersamaan dengan keberadaan komunitas manusia yang tentunya sesuai dengan keadaan dan tempat yang dihuni oleh mereka, seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun: “Taqlid adalah fenomena lama yang turun temurun dalam kehidupan anak cucu adam”.
Para Ulama klasik banyak mengkaji permasalahan ini, banyak diantara mereka yang sudah memberikan kontribusi dalam pembahasannya, seperti merangkum pendapat para Ulama, memberikan definisi dan menghakiminya dengan tetap menganggap taqlid itu sebagai racun yang membahayakan terhadap individu dan kaum muslimin secara umum.
Kemudian pembahasan taqlid berlanjut mengikuti perkembangan fikih yang menjadi media mengetahui sebuah hukum, hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih dan keluar dari keterkungkungan taqlid. Secara tidak langsung bisa dikatakan; kerangka rujukan taqlid pada masa itu bermuara pada corak pandangan seseorang (syi'âr al-Tandzîry) yang berputar dalam pembahasan fikih dan ushul fikihh, akan tetapi hal ini tidak berjalan lama, dikarenakan tidak adanya spesialisasi yang didasarkan kepada masa muncul dan perannya dalam sejarah dan masyarakat.
Ketika hal – hal yang melatar belakangi dan faktor – faktor keberlanjutannya sudah tidak diketahui, maka yang tersisa hanyalah metode – metode lemah yang tidak dapat dipakai orang banyak untuk mengkaji dan mendalaminya.
Sebagai solusinya, para Ulama membuat kaidah – kaidah taqlid yang diatur oleh cara pandang seseorang dalam memahami hukum dan ta'wil. Kaidah – kaidah ini yang menjadi barometer dan rujukan bagi muqallid atau muqallad dengan tetap menganggap mereka sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan.
Akan tetapi pada abad keempat hijriyah, ketika Umat Islam banyak dibenturkan pada kepentingan politik, pemikiran dan sosial kultural, maka secara spontan pekembangan taqlid tidak dapat dibendung sehingga dapat menembus kaidah – kaidah yang telah disusun oleh para Ulama. Sehingga Umat kurang bersemangat untuk berijtihad yang implikasinya mereka hanya merujuk dan berpatokan terhadap pendapat Ulama – ulama yang mendahului mereka. Hal ini bisa ditemukan dalam karangan – karangan Ulama yang muncul pada masa itu.
Dengan melihat kondisi masyarakat pada waktu itu, para Ulama lebih serius lagi dalam mengkaji taqlid hingga abad kedua belas, dengan bentuk kajian yang tentunya selalu berkembang, salah satu hasil dari kajian tersebut, ditemukannya beberapa manhaj yang mencakup semua aspek, seperti peran sosial, pisikologi dan lain sebagainya dalam pengaruhnya terhadap hukum yang digali, kemudian berkembang terhadap permasalahan lain.
Usaha Ulama tersebut diatas, tidak terlepas dari kalangan yang memberikan harga paten dalam menyikapi permasalahan taqlid, yang banyak orang salah dalam memahami pernyataan mereka (golong yang anti taqlid) seperti yang terjadi pada tahun empat ratus Hijriyah di Makkah sebagaimana diceritakan oleh Syeikh Abdul Hafidz al-Makky dalam buku al-Taqlîdu as-Syar'î: “Banyak dari kaum muslimin – pemeluk madzhab - yang menjadi korban orang – orang yang menentang taqlid, mereka dibantai seolah – olah mereka adalah orang kafir yang diperintahkan Allah untuk diperangi, mereka melakukannya dengan dalih dan anggapan bahwa orang – orang yang taqlid terhadap madzhab telah melakukan bid'ah dan termasuk orang yang syirik kepada Allah Swt”h.
Dengan tidak memperbanyak bahasan normatif, penulis akan mencoba untuk masuk pada bahasan polemik yang muncul berkaitan dengan taqlid.
Definisi
Secara etimologi, kata taqilid diambil dari kata قلادة yang artinya "kalung", jadi kata taqlid yang di-muta'addi-kan artinya menjadi "mengalungkan", seakan – akan seorang muqallid menjadikan hukum hasil taqlid dari seorang mujtahid diletakan dilehernya seperti kalung.
Dalam terminologinya, taqlid mempunyai dua definisi;
Pertama: melaksanakan perkataan orang lain (tanpa diketahui kualitas keilmuannya) dengan tanpa dalil – dalil syari'at yang kuat (taqlid buta). Taqlid seperti ini yang tidak diperbolehkan oleh ulama ushul fiqh. Kedua : melaksanakan perkataan atau pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui dalil – dalilnya secara sempurna, baik yang melaksanakannya adalah orang yang awam atau orang yang alim yang sudah belajar ilmu ushul fiqh, akan tetapi tidak sampai kepada derajat untuk berijtihat.
berdasarkan definisi kedua diatas, bisa juga dikatakan bahwa orang yang bisa melakukan taqlid menurut ulama ushul adalah orang yang belum sampai kepada derajat mujtahid mutlaq walaupun dia tersebut seorang ahli hadits (Muhaddits).
Legalitas taqlid
Seperti telah penulis jelaskan di atas, bahwa sepanjang sejarah Umat Islam, banyak Ulama bahkan bisa dikatakan hampir seluruh Ulama tidak setuju terhadap taqlid, sebut saja disini Ibnu Hazm yang terkenal sebagai Ulama yang paling konsent dalam memerangi taqlid, beliau mengatakan: “Semua bentuk taqlid hukumnya haram dari yang pertama sampai yang terakhir”. Senada dengan ini, pernyataan Ibnu al-Qayyim dan banyak ulama lainnya seperti Imam Al-Suyuthi dan para Imam madzhibul arba'ah yang berkesimpulan atas ketidaksetujuan mereka terhadap taqlid. Akan tetapi kenapa masih ada Ulama yang dengan gigihnya memperjuangkan taqlid, dengan alas an; kalau kita mengaharamkan taqlid secara mutlak, maka secara tidak langsung kita juga mewajibkan Ijtihad secara mutlak pula, hal ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang yang baru belajar tentang agama apalagi orang yang awam.
Kalau kita pikir kembali, alasan ini bisa kita benarkan karena tidak semua Umat Islam mampu berijtihad yang disebabkan oleh beberapa kendala yang berbeda. Kalau kita tetap memaksa mereka untuk berijtihad tentunya akan lebih berbahaya lagi daripada melakukan taqlid, karena bisa dipastikan hasil ijtihad mereka akan salah, maka dengan hal ini perlu kita fahami kembali taqlid seperti apa yang dimaksud oleh Ibnu Hazm dan yang lain? Apakah Ibnu Hazm dan yang lain sudah tidak memikirkan orang – orang yang tidak mampu berijtihad?.
Disebutkan dalam buku "al-Ijtihâd wa al-Tajdîd" karangan DR. Saed Syabbar bahwa: “Sebenarnya Ulama – ulama yang tidak setuju terhadap taqlid, mereka melakukan hal itu hanya khusus Mujtahid yang mampu berijtihad saja, hal ini diperkuat dengan pernyataan Ibnu Qayyim yang membolehkan taqlid dalam keadaan darurat, hanya saja mereka memberikan catatan untuk tetap lebih menjungjung ijtihad daripada taqlid, dengan kata lain, usaha untuk berijtihad harus tetap digaungkan”.
Dengan ini, penulis beranggapan bahwa sebenarnya tidak ada Ulama klasik yang mengharamkan taqlid terhadap orang yang tidak mampu berijtihad, baik orang tersebut adalah orang yang awam atau bukan. Akan tetapi yang penulis herankan ialah kenapa masih ada sebuah kelompok yang tetap bersikukuh dan memukul rata haramnya taqlid tanpa memandang orang – orang yang tidak mampu berijtihad. Ironisnya sebagian dari mereka menganggap para muqollid itu kafir atau musyrik.
Ada dua hal yang melatar belakangi mereka dalam mengharamkan taqlid. Pertama, mereka memahami Islam hanyalah shalat, puasa, zakat dan haji. Menurut mereka kita tidak perlu menunggu perkataan orang lain kalau hanya untuk memahami hal – hal diatas. Kedua, mereka menganggap penafsiran atau ijtihad para Ulama adalah bagian dari al-Quran dengan kata lain kalau kita mengikuti perkataan Ulama secara tidak langsung tidak mengikuti al-Quran dan Sunnah, sedangkan yang diperintahkan oleh Allah adalah mengikuti al-Quran dan Sunnah.
Berikut sebagian alasan mereka dalam mengharamkan taqlid:
1. Dalil yang wajib kita ikuti adalah al-Quran dan al-Hadits bukan perkataan Ulama. Alasan yang seperti ini terkesan mengada–ada. Karena, yang dikatakan Dalil dalam ilmu Ushul Fikih bukan hanya al-Quran dan Hadits saja, melainkan terdapat juga Dalil lain seperti ijma', qiyas, urf, istihsan dan lain sebagainya yang juga diakui oleh Nabi dalam sebagian sabdanya. Jadi memposisikan pendapat para Ulama sebagai rujukan, secara tidak langsung juga berpegang teguh kepada al-Quran dan Hadits.
2. Mereka (kalangan anti taqlid) juga beralasan; banyak ditemukan orang yang melakukan taqlidul terhadap madzhab tertentu tidak akan keluar dari madzhabnya walaupun ada Hadits yang jelas – jelas bertentangan dengan pendapat Imamnya. Tuduhan semacam ini sebenarnya sudah lama di tanggapi oleh Syeikh al-Kairanâwy dalam bukunya "Fawâid fî Ulûmu al-Fiqh", beliau mengatakan: “Tuduhan seperti ini tidaklah benar, karena untuk mengetahui perbedaan al-Quran dan hadits dengan perkataan Imam Madzhab, masih tergantung pada dua hal: Pertama: harus diketahui otentitas Hadits tersebut. Kedua: harus diketahui juga tentang hakekat perbedaannya. Dalam hal ini, seorang muqallid tidak akan dapat mampu mengusainya.
Jadi menurut penulis, ketekunan seorang muqallid terhadap pendapat Imam madzhab-nya bukan didasarkan pada anggapan bahwa pendapat Imamnya lebih rajih dibandingkan firman Allah dan sabda Rasul. Melainkan mereka beranggapan bahwa bisa dipastikan tidak adanya pertentangan antara wahyu dan pendapat Imam tersebut.
3. Tidak cukup sampai dini saja usaha mereka dalam mengharamkan taqlid, mereka juga menggulirkan sebuah perkataan yang dinisbatkan kepada Imam madzâhibu al-arba'ah, yaitu: "Apabila ada Hadits shahih, maka itulah madzhab-ku". Perkataan ini difahami oleh mereka, dengan; imam madzahibu al-arba'ah tidak setuju akan adanya taqlid.
Selain yang telah saya jelaskan diatas, pernyataan semacam ini perlu dipertanyakan ulang kebenarannya, karena banyak Ulama yang meragukan validitas perkataan tersebut, bahkan ada yang mengatakan, ucapan itu tidak benar seperti yang disinyalir oleh sebagian Ulama, yang diantaranya Imam Nawawi dalam muqaddimah majmû'-nya.
Kalau seumpama kita menerima pernyataan tersebut dan kemudian kita meninggalkan taqlid dengan alasan dilarang oleh Imam madzâhibu al-Arba'ah secara tidak langsung kita juga melakukan taqlid terhadap mereka.
Adapun kalau diteliti dari segi teks al-Quran, banyak sekali kita temukan ayat yang melegalisasi taqlid, seperti dalam surah an-Nahl: 43, al-An'âm: 90, an-Nisâ': 124, an-Nisâ': 82, at-Taubah: 123 dan surah al-Anbiyâ':73.
Adapun dalam hadits, kita juga temukan haditsnya Mu'adz bin Jabal yang bisa kita simpulkan sebagai berikut:
- Banyak permasalahan yang tidak disinggung hukumnya di dalam al-Qur’an dan Hadits.
- Hukum permasalahan tersebut tidak ada penetapan dari Syâri' sedangkan ijtihad menurut Nabi adalah hal yang dapat diterima dan terpuji.
- Bisa dipastikan diutusnya Mu'adz ke Yaman, secara tidak langsung memberikan pengertian bahwa pintu Taqlid terbuka bagi masyarakat Yaman. Karena tidak bisa dipungkiri mereka (masyarakat Yaman) akan mengikuti Mu'adz tanpa menanyakan Dalil – dalilnya.
Pembagian taqlid
Pemabagian taqlid bias dilihat dari dua sisi; pertama, dari segi ranah atau arenanya. Kedua: dari segi muqalladnya.
Adapun arena taqlid ada dua hal:
I. Aqidah. Mayoritas Ulama tidak memperbolehkan taqlid dalam masalah – masalah yang berkaitan dengan akidah, hanya saja penulis lebih setuju terhadap pendapat Dr. Hasan Heitou yang membolehkan bagi orang awam mengikuti pendapat Ulama dengan catatan pendapat dapat dipertanggung jawabkan dan sesuai dengan Madzhab Ahli Sunnah Wal Jama'ah.
II. Furû'iyah. Masih terdapat perbedaan dalam hal ini, akan tetapi pendapat yang kuat adalah pendapat yang membolehkan. Karena bagi orang yang awam sangatlah sulit untuk menggali hukum sendiri apalagi ketika mereka disibukan dengan nafkah kehidupan dan lain sebagainya.
Sedangkan dari segi muqalladnya taqlid terbagi menjadi dua macam juga:
I. Taqlid terhadap individu seseorang (Taqlîdu al-Syahshy).
Taqlid semacam ini sudah ada sejak zaman para Sahabat, sebut saja penduduk Makkah pada masa Sahabat menjadikan Ibnu Abbas sebagai rujukan, penduduk Madinah menjadikan Zaid bin Tsabit sebagai pegangan, begitu pula Ibnu Mas'ud menjadi rujukan penduduk Kufah dan banyak yang lainnya seperti Mu'adz bin Jabal yang menjadi sandaran penduduk Yaman.
Dalam kajian ushul fikih banyak pembahasan yang berkaitan dengan taqlidu al-syahshy ini, seperti: Taqlid-nya seorang Mujtahid kepada Mujtahid yang lain, taqlid kepada orang yang terkenal keilmuannya, taqlid kepada al-Mafdhûl dengan adanya al-Fâdhil dan lain sebagainya. Hanya saja penulis ingin mengambil satu pembahasan saja yaitu: Taqlid-nya orang awam dan yang tidak mampu berijtihad.
Kebanyakan Ulama mensyari'atkan taqlid bagi orang yang tidak mampu (baik yang 'âmy atau yang 'âlim) melakukan Ijtihad. Syekh Hasanain Makhluf dalam bukunya " Bulûghu al-Sûl" menjelaskan: "Menurut Ulama ushul fikih, perkataan para Mujtahid ketika dinisbatkan kepada para Muqallid diibaratkan dalil – dalil Syari'at di depan para mujtahid. Hal itu bukan disebabkan oleh perkataan para Mujtahid merupakan Hujjah yang bisa digunakan untuk menetapkan hukum, melainkan lebih dikarenakan Fatwa - fatwa mereka didasarkan kepada ilmu yang mapan yang menjadi modal dalam menggali hukum dan mengklarisifikasi dalil disertai dengan keluasan pengetahuan dan pemahaman mereka, serta perhatian mereka terhadap dasar – dasar syari'at dan nash – nashnya".
Senada dengan Syekh Hasanain Makhluf, Imam as-Syâtiby mengatakan: " Fatwa para Mujtahid dihadapan orang awam sama seperti dalil – dalil Syari'at didepan para Mujtahid. Karena bagi orang awam adanya dalil atau tidak, hakekatnya sama, mereka tetap tidak akan mampu menggali hukum langsung dari nash tersebut. Maka hal yang wajib bagi mereka hanyalah mengikuti Fatwa para Mujtahid sesuai dengan di perintahkan Allah Swt.:
{فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ} .
Pada periode Sahabat dan Tabi'în, ketika orang awam mempunyai masalah dalam bidang agama, mereka berbondong–bondong pergi ke Sahabat atau tabi'in, untuk menanyakan permasalahan mereka, dan tidak pernah diceritakan, para Sahabat atau Tabi'in memerintahkan mereka untuk berijtihad. Bedasarkan hal ini, bisa dikatakan, sahabat dan tabi'in sepakat akan satu hal, yaitu cara satu – satunya bagi orang awam untuk mengetahui hukum, adalah bertanya kepada yang mampu mengetahuinya. Maka mewajibkan mereka untuk berijtihad menurut hemat penulis menyalahi ijma' sukûty para sahabat dan tabi'in. Disamping itu, pendapat yang melarang taqlid merupakan pemaksaan (taklîf) terhadap orang yang tidak mampu untuk ber-ijtihad, sedangkan pemaksaan yang seperti ini sudah dilarang oleh Allah Swt.:
{لا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا} .
II. Taqlid terhadap kelompok (Taqlîdu al-Madzâhib).
Setelah Rasulillah wafat banyak ijtihad para shahabat (yang lebih dikenal dalam kajian ushul fiqh dengan Qaulusshahâby) bemunculan yang tentunya disebabkan karena permasalahan yang dihadapi umat Islam pada waktu itu berkembang dan tidak ada teks tertulis yang menerangkan hukumnya.
Kemudian ijtihad tersebut membentuk sebuah kelompok dan hampir sama seperti Madzhab atau lebih dikenal dengan MADRASAH, seperti Madrasahnya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Siti Aisyah, Zaid dan yang lain.
Tidak berhenti disitu, melainkan fenomena ini terus berlanjut keperiode Tabi'in yang kemudian banyak menelorkan para Ulama dan Mujtahid, sehingga dikenallah sebutan "Fuqahâu Madinati al-Sab'ah" (tujuh ulama fiqh madinah), mereka adalah, Sa`id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakar bin Adurrahman bin al-Harits, Sulaiman bin Yasar, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud.
Selain dari itu muncul juga di kufah: Alqamah bin Qais,Ibrahim al-Nukha'ei dan lainnya, begitu juga muncul di basrah: Hasan al-Bashri dan yang lain, mucul juga di makkah: pelayannya Ibnu Abbas, Thâus dan yang lain, di damasykus: Mahkul al-Syamy dan Idris al-Khaulâny, di mesir: al-Laits bin Sa'ad, Muhammad bin Sirîn dan lainnya.
Para mujtahid diatas mempunyai Ijtihad dan kaidah serta manhaj yang berbeda, akan tetapi yang sangat menonjol dari manhaj mereka bermuara kepada Madrasatul hadits di hijaz dan Madrasatur ra'yi di iraq.
Pada abad kedua hijriyah kuantitas ahli fiqh semakin bertambah dan yang berbeda dalam abad ini, mereka meletakan manhaj ijtihad masing - masing yang kemudian manhaj tersebut terbukukan dan ter-tadwin dengan rapi, mereka diantaranya adalah: Sufyan bin Uyainah di makkah, Malik bin Anas di madinah, Hasan Basri di basrah, Abu Hanifah dan Sufyân al-Tsaury di kufah, al-Auza'ei di syam, al-Syafi'ei dan Laits di mesir, Ishaq bin Râhuyah di Naisabur dan Abu Tsûr Ahmad, Daud al-Dhâhiry dan al-Thabari di Baghdad.
Madzhab – madzhab ini tentunya mempunyai pengikut – pengikut yang menjaga dan melestarikan madzhab mereka dengan tetap menghormati madzhab yang lain bahkan ada dari mereka yang berguru kepada imam diluar madzhabnya, tetapi ironisnya terdapat dari sebagian mereka yang terkontaminasi dengan fanatisme yang berlebihan, dan cenderung menyalahkan madzhab lain yang tidak dilarang dalam islam.
Dalam menyikapinya, ulama – ulama yang anti taqlid lebih bersemangat yang berujung kepada kecerobohan mereka dengan memasukan orang yang menekuni madzhab terhadap sebagai orang yang fanatik.
Menurut penulis, kalau menekuni madzhab tertentu digolongkan terhadap fanatik madzhab, maka bisa dikatakan hal itu merupakan fanatik yang diperbolehkan, karena tidak mungkin seseorang yang yakin terhadap satu madzhab akan melakukan apa yang ada di madzhab yang lain, selain dari itu fanatik madzhab seperti ini adalah bentuk dari kepercayaan terhadap ulamanya dalam menggali hukum.
Adapun fanatik yang dilarang adalah fanatik yang berujung terhadap anggapan bahwa, madzhabnyalah yang benar dan yang lain salah.
Dengan ini, penulis kira kalau hanya ingin menanggulangi perpecahan dalam tubuh ummat islam tidak perlu menjadikan madzhab sebagai kambing hitam, melainkan yang pantas dilakukan adalah pendekatan antar madzhab (taqrib baina al-madzahib), bukan memeranginya, karena fanatik terhadap apa yang kita yaqini itu adalah hal yang wajar, dengan catatan tidak sampai menyalahkan orang lain.
Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bisa disimpulkan, bagi ulama yang tidak setuju terhadap taqlid otomatis tidak akan setuju terhadap madzhab, karena madzhab adalah bagian dari taqlid itu sendiri. Hanya saja dalam ulama yang pro terhadap madzhab masih terdapat perbedaan pendapat dalam sebagian permasalahannya, yang diantaranya adalah:
a. Taqlid kepada selain madzâhibu al-arba'ah.
Dengan melihat perbedaan ulama dalam permasalahan ini,penulis lebih condong untuk mengutamakan madzâhibu al-arba’ah dan membolehkan mengikuti madzhab lain dengan catatan riwayat yang diterima benar – benar bisa dipertanggung jawabkan. Hal itu disebabkan karena:
Pertama: Madzhab selain madzâhibu al-arba’ah tidak ter-tadwin, sehingga bisa dimungkinkan masuknya perkataan atau fatwa yang bukan fatwa shâhibu al-Madzhab atau imam - imamnya.
Kedua: Madzâhibu al-arba’ah sudah terbab – babkan dan lebih sistimatis, selain dari itu, madzhab mereka sudah tersebar luas di seantero dunia. hal ini mempermudah orang yang akan mengikutinya terutama kaum awam, berbeda dengan madzhab – madzhab lain yang sulit dan terbatas.
Dengan dua alasan diatas penulis ingin memberikan catatan, permasalahan ini adalah ranah bagi orang – orang sampai derajat tarjih saja, karena yang dapat memilah dan menilai kebenaran suatu madzhab adalah orang yang pernah dan mendalami ilmu – ilmu yang berhubungan dengan istinbâtul ahkâm, sedangkan orang awam untuk mengerti apa yang dimaksud oleh wahyu sangat sulit apalagi untuk mentarjihnya, maka ketika permasalan ini hanyalah ranah bagi ahli tarjih saja, tentunya nanti mereka dimungkinkan menemukan pendapat yang muncul dari madzhab lain yang mereka anggap benar. Dengan ini penulis lebih setuju untuk tidak melarang madzhab selain madzâhibul arba’ah akan tetapi mengutamakannya saja.
b. Menekuni madzhab tertentu.
ada dua pendapat dalam hal ini:
pertama: wajib hukumnya bagi kaum awam dan orang yang belum sampai pada tingkatan mujtahid, menekuni madzhab tertentu yang di yakininya lebih rajih atau seimbang dengan madzhab yang lain. Pendapat ini diamini oleh Imam Jalaluddin al-Mahally dalam bukunya Syarhu al-Jam'u al-Jawâmi'.
Kedua: tidak wajib hukumnya, melainkan diperbolehkan bagi mereka (orang yang belum sampai pada tingkatan mujtahid) memilih mujtahid yang diyakininya benar. Pendapat ini yang menurut kebanyakan ulama' diantaranya Imam Nawawi dan Ibnu 'abidîn adalah pendapat yang benar.
Perbedaan pandangan ulama diatas menurut penulis disebabkan dua hal yang sama dilarang dalam islam, pertama: Talfiq yang kemudian ulama golongan kedua ( yang tidak mewajibkan) membahas dalam pembahasan khusus. Kedua: Ta’asshub ( fanatik yang cenderung menyalahkan madzhab lain). Jadi semala tidak mengarah kepada dua hal tersebut, maka hukum menekuni madzhab tertentu boleh – boleh saja.
Epilog
Ketika banyak dalam al-Quran dan hadits yang masih belum maksudnya, kemudian banyak muncul permaslahan yang secara harfiyah tidak disinggung dalam wahyu, maka yang patut dilakukan oleh seorang muslim adalah, mengikuti dua cara, pertama: berpegangan pada para mujtahid. Kedua: berusaha sendiri dalam menggali hukum dari nash – nash syar'i. akan tetapi cara yang kedua dimungkinkan banyak menimbulkan kesalahan apabila disugukan dan dipakai oleh orang yang sangat minim pengetahuannya dalam bidang ushul fiqh dan ilmu lainnya. Imam al-Dzahaby mengatakan: sesungguhnya orang yang baru belajar fiqh dan orang awam yang hafal al-Quran tidak boleh ber-ijtihad selamanya, bagaimana dia bisa ber-ijtihad? Apa yang akan dia katakan? Atas dasar apa dan bagaimana dia bisa terbang sedangkan dia tidak punya sayap?.
Dari hal ini penulis berkesimpulan, taqlid adalah solusi satu - satunya atau hal yang dlârîry bagi orang tidak mampu untuk berijtihad, denga kata lain, taqlid wajib bagi orang yang awam dan haram bagi seorang mujtahid.
Sedangkan bagi ulama yang tidak terkatagori sebagai mujtahid, selain diperbolehkan untuk taqlid, mereka juga berkewajiban untuk selalu berusaha mencari hukum yang menurut dirinya benar dan lebih kuat dalilnya baik dengan men-tarjih atau dengan ijtihadnya sendiri.
Sebelum penulis mengakhiri makalah ini, ada hal yang sangat patut untuk dicermati oleh kita, tentang kesadaran posisi kita, muqalladkah atau muqallidkan kita? Sehingga kita tidak akan gampang dan serampangan dalam memutuskan permasalahan yang sebenarnya kita tidak mengetahuinya, baik dari fatwa - fatwa ulama ataupun dari al-Quran dan hadits, seperti yang diatur dalam sebuah kaidah: ""الحكم بالشيئ فرع من تصوره.
Demikian uraian yang sangat sederhana ini, tentunya banyak kesalahan dan kekurangan yang harus diperbaiki, karena penulis yaqin, semaksimal apapun usaha seseorang, tetap akan menuai kritikan dan perbaikan. al-'Imâd al-Asfahâny mengatakan:
إني رأيت أنه لايكتب إنسان كتابا في يومه إلا وقال في غده:
· لو غير هذا لكان أحـــــــــــــــــــــــسن.
· ولو زيد كذا لكان يستحســــــــــــــــــن.
· ولو قدم هذا لكان أفضـــــــــــــــــــــــل.
· ولو ترك هذا لكان أجــــــــــــــــــــــمل.
· وهذا من أعظم العـــــــــــــــــــــــــــبر.
Wallâhu A'lâ Wa A'lam…!!!!