Kajian Inklusif Bindhara
Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA)
Sabtu, 30 September 2006 di sekretariat FOSGAMA
Kritik Nalar Islam[1]
Roland Gunawan[2]
Prolog
Islam turun ke muka bumi pada dasarnya sebagai “kritik” terhadap kahidupan Jahiliyah. Demikian halnya agama-agama lainnya yang juga hadir sebagai kritik terhadap keadaan yang menyimpang dari fitrah manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dalam Islam sendiri, tradisi kritik bukan merupakan “barang langka”. Sejak masa klasik, bahkan sejak zaman Nabi saw. dan para sahabat, tradisi kritik ini begitu kental. Kita temukan misalnya bagaimana Umar bin Khatthab mempersilahkan dirinya untuk dikritik. Juga dalam ilmu-ilmu keislaman tradisi kritik dapat kita temukan; dalam ilmu hadis, `ilm al-jarh wa al-ta`dîl dll. Dalam ilmu tafsir, kita menemukan nâsikh wa mansûkh, asbâb al-nuzûl dll.
Bisa dikatakan bahwa kritik merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal. Dalam diri kita sering timbul pertanyaan-pertanyaan ketika melihat suatu fenomena. Atau ketika kita melakukan suatu tindakan, maka dalam jiwa kita kadang terjadi semacam pergolakan. Ini menunjukkan bahwa kritik bukanlah sesuatu yang aneh.
Di dunia modern sekarang ini, kritik-mengkritik adalah sesuatu yang lumrah dan wajar. Tidak ada satupun di dunia ini yang kebal kritik. Bahkan modernitas sendiri, yang saat ini telah menjadi trend dunia, perlu juga untuk dikritik, apalagi tradisi yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu kepada kita.
Dalam makalah sederhana ini saya akan membahas mengenai suatu obyek, yang bagi sebagian orang mungkin sudah merupakan tema yang usang. Namun sebetulnya, bila melihat kondisi kaum muslimin saat ini, yang masih belum mampu melampaui, atau bahkan belum memasuki era modern, apa yang akan saya bahas ini akan tetap menemukan relevansinya; yaitu Kritik Nalar Islam.[3]
Konsep Nalar Islam
Mengandaikan adanya nalar abadi yang secara apriori betul-betul konkordan dengan ajaran-ajaran wahyu, pasti senantiasa ada, tidak saja pada pelbagai mainstrean pemikiran dalam Islam, tetapi juga dalam Yahudi dan Kristen. Pengandaian ini menggambarkan bahwa keimanan terhadap wahyu (atau informasi-informasi wahyu) akan menguatkan akal manusia, menunjuki dan memberinya jalan, di mana ketika akal hanya dibiarkan bergerak sendiri, maka ia akan tersesat. Keimanan tentang adanya unsur ketuhanan pada akal yang mengandung pengakaran ontologis aktivitas-aktivitas nalar manusia, sebenarnya sudah menjadi gejala umum dan cukup populer dalam Islam melalui hadis Nabi yang muncul dari aliran pemikiran iluminasi:
“Sesungguhnya ketika menciptakan akal, Allah swt. berkata kepadanya: “Berdirihlah kamu!” Maka berdirilah ia. Kemudian Allah berkata lagi: “Duduklah!” Maka duduklah ia. Lalu Allah berkata lagi: “Menghadap ke depan!” Maka menghadaplah ia ke depan. Kemudian Allah berkata lagi: “Menghadap ke belakang!” Maka menghadaplah ia ke belakang. Setelah itu Dia berfirman: “Demi kehormatan-Ku, kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kekuasan-Ku, ketinggian tempat-Ku, kebertahtaan-Ku di atas `Arsy, dan kemampuan-Ku menciptakan, Aku tidak pernah menciptakan suatu ciptaan yang lebih mulia bagiku darimu, tidak pula lebih baik bagiku darimu. Denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, denganmu Aku mengetahui, denganmu aku disembah, dengamu Aku memberi pahala, dan denganmu Aku memberi hukuman.”
Hadis di atas memperlihatkan, betapa akal nampak transenden dan tunduk pada batas-batas firman normatif Tuhan berikut “paksaan-paksaan-Nya” secara bersamaan. Realitanya, sebagaimana pengamatan Mohammed Arkoun, bahwa setiap nama dalam al-Qur’an memberikan kepada sesuatu yang dinamai, hakikatnya yang abadi sesuai dengan ilmu Tuhan serta eksistensi obyektif-Nya dalam sistem ciptaan, dan hukum syari`at-Nya dalam eksistensi historis manusia. Demikianlah pemikiran Islam terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip keimanan yang terepresentasikan oleh unsur ketuhanan bagi akal, keimanan yang terpersonifikasi dalam teks lingual yang terbatas; al-Qur’an. Lalu datanglah al-Syafi`i dan menempatkan Sunnah pada posisi sejajar dengan al-Qur’an. Dalam makna dan perspektif seperti ini, barangkali kita bisa berbicara tentang nalar Islam (al-`aql al-islâmî).
Banyak sudah karya ditulis untuk menggambarkan nalar Islam dari segi formalisme eksternalnya, banyak pula karya yang berbicara tentang produk serta perkembangannya. Akan tetapi hingga sekarang belum ada analisis dekonstruktif atau kritik epistemologis terhadap dasar-dasar, mekanisme-mekanisme, tema-temanya dan apa “yang tak terfikirkan” (al-lâ mufakkar fîhi) yang lahir dari metode paradigmatiknya yang khusus dalam sistematisasi ranah yang terbuka bagi sesuatu “yang terfikirkan” (al-mufakkar fîhi). Aktivitas atau studi semacam ini sekarang sangat diperlukan karena dua sebab:[4]
Pertama, yang sangat urgen dan mendesak, dari sisi perspektif umum sejarah pemikiran, yaitu menerapkan metodologi-metodologi dan problematika-problematika baru dalam studi Islam. Artinya menerapkan metodologi-metodologi serta wawasan-wawasan studi yang luas, seperti historisitas, antropologi dll. Setelah itu perlu berbicara mengenai faktor-faktor sosial yang mengontrol proses pembentukan nalar dan rekonstruksinya. Itu semua memerlukan studi terhadap kekurangan-kekurangan sejarah linear pemikiran yang abstrak.
Kedua, saat ini Islam politik “mengaku-ngaku” berpijak pada sistem nalar-nalar yang mengarah pada fungsi justifikatif formalistik nalar Islam klasik. Sehubungan dengan ini, kita perlu mempertanyakan legalitas keagamaan, historis dan filosofisnya. dalam menyelesaikan problem ini, paling tidak kita perlu melihat dua hal berikut:
1 – Nalar Islam Klasik
2 – Kontinuitas historis antara nalar Islam klasik dan kualitas nalar-nalar yang diakui dijadikan sandaran oleh wacana-wacana Islam kontemporer. Atau mungkin antara keduanya terdapat jurang pemisah (keterputusan) yang tak terlihat karena tertutupi oleh reduksi-reduksi kultural terhadap masa lalu?
- Nalar Islam Klasik
Membatasi nalar ini merupakan sesuatu yang amat sulit. Masalahnya kita tidak punya cukup banyak data yang secara komprehensif menggambarkan eksistensi Nalar Islam Klasik. Apakah mungkin kita mengkaji teks tertentu atau kitab tertentu yang ada dalam ranah nalar ini, baik bentuk, kandungan berikut mekanismenya? Atau, mungkinkah kita mengutamakan suatu aliran tertentu atau tokoh tententu yang melaluinya kita dapat melakukan analisa, dan mempelajari konsep teoritis dan praktis Nalar Islam Klasik? Sebenarnya kita bisa memilih banyak jalan. Kita bisa mengkaji munculnya konsep ini mulai dari masa al-Qur’an diturunkan untuk kemudian mengikuti perjalanannya hingga abad ketiga dan keempat Hijriyah/atau abad kesembilan dan kesepuluh Masehi. Atau bisa juga kita mengeskplorasi pelbagai konsep kata “nalar” yang ada di pelbagai aliran, lalu kita ambil salah satu konsep yang lebih bisa “dilabeli” dengan kata “Islami” daripada yang lainnya. Terakhir, kita juga bisa bersandar pada sebuah teks (sebuah karya atau kitab) tertentu, kemudian kita melangkah ke depan dan ke belakang dari segi waktu, lalu kita berpindah ke pelbagai ranah sosial dan kultural dari segi tempat. Pilihan pertama mengembalikan kita pada sejarah linear pemikiran, sedangkan yang kedua malah akan memecahkan kesatuan sistem pemikiran yang seharusnya kita jelaskan fungsi-fungsinya. Pilihan ketiga nampak lebih mudah dan lebih baik. Dan saat ini, di tangan kita ada sebuah karya normatif klasik yang dikenal sejak abad ketiga Hijriyah diklaim sebagai representasi Ijma` berbagai aliran: al-Risâlah, karya Imam al-Syafi`i (150 – 204 H/ 767 – 820 M)
Bukanlah sesuatu yang penting bagi kita untuk mengetahui bahwa kitab al-Risâlah dikarang sebagai jawaban terhadap permintaan Abdurrahman bin Mahdy salah seorang ahli hadis Bashrah (wafat tahun 198 H/813 M), atau bahwa ia ditulis secara sederhana guna menjelaskan masalah-masalah yang senantiasa diperdebatkan dalam iklim persaingan tajam antara pelbagai aliran pemikiran Islam. Sebagaimana kita juga tidak begitu peduli untuk meneliti keberadaan dua manuskrip: Irak dan Mesir. Yang jelas, inilah satu-satunya kitab paling populer yang sampai ke tangan kita, yang dikarang beberapa waktu sebelum kematiannya. Kitab ini telah dibaca, dipelajari dan diaplikasikan dari generasi ke generasi; bahkan kuburannya yang ada di Mesir menjadi tempat ziarah dan sakralisasi.[5]
Struktur internal teks secara jelas nampak tidak begitu diperhatikan pada terbitan Ahmad Muhammad Syakir (Cairo, 1940) yang malah mencerai-beraikan kesatuan-kesatuan tekstual hingga menjadi semacam paragraf-paragraf dan potongan-potongan sintetis. Cara ini juga dilakukan oleh Muhammad Sayyid Kailany yang menerbitkannya pada tahun 1969 di Cairo, dan membagi-baginya menjadi 1821 paragraf. Al-Risâlah mencakup pembagian-pembagian formal dalam bentuk pasal-pasal. M Khadduri dalam terjemahannya ke dalam bahasa Inggris, membaginya menjadi 15 pasal (825 paragraf). Namun legalitas pembagian internal ini tidak lebih besar dari legalitas pembagian-pembagian cetakan Arab. Apa artinya ini? Artinya bahwa prinsip pembacaan al-Risâlah dan kitab-kitab klasik lainnya secara umum tidak mengalami perubahan sejak masa al-Syafi`i hingga sekarang. Sampai saat ini, kebanyakan orang selalu saja lebih memperhatikan struktur penulisan formal, persis seperti para pendengar ceramah al-Syafi`i di masanya. Di sini, yang dimaksud dengan struktur formal adalah gaya-gaya perdebatan, penyanggahan, spesifikasi-spesifikasi serta hukum-hukum legal dll. Mereka tidak pernah berusaha menyingkap dasar-dasar implisit yang membentuk setiap diskursus dalam kitab al-Risâlah. Cukup kita melihat judul-judul yang dalam “daftar isi”, kita akan dapatkan bahwa semuanya membahas obyek mendasar, sentral dan satu: dasar-dasar otoritas tertinggi atau legitimasi tertinggi dalam Islam. Pertanyaan yang muncul adalah: atas nama siapa, atas nama apa, dan sesuai dengan prosedur-prosedur eksploratif apa yang melaluinya sebuah kebenaran atau hukum legal tertentu, tidak hanya diharuskan dan dipaksakan kepada manusia, akan tetapi juga tidak adanya kemungkinan melepaskan diri darinya untuk berjalan di atas jalan petunjuk dan keselamatan (baca: syariat)? Pertanyaan seperti ini, dalam pelbagai dimensinya, melampaui batas-batas metodologi hukum. Hal ini akan menentukan prinsip atau model pembacaan terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai rujukan otoritas tertinggi atau legalitas tertinggi yang dilegitimasikan terhadap otoritas-otoritas manusia. Maksud dari otoritas-otoritas manusia di sini adalah otoritas politik seorang khalifah, otoritas undang-undang seorang hakim dan otoritas kultural seorang alim (baca: pemuka agama atau seorang ahli fikih). Otoritas teks-teks suci hingga ketika menjadi undang-undang formal selalu saja melampaui standar legal yang “melekat” dengan Tuhan Yang Maha Mutlak.[6]
Dalam kitab al-Risâlah kita sering menemukan kata-kata: “idzâ syâ‘Allâh”, atau “Allâh ‘a`lam” dan semacamnya. Paling tidak, ini menunjukkan ketundukan dan ketaatan akal terhadap otoritas hukum Tuhan. Kendati kata-kata seperti itu telah menjadi acuan-acuan yang diulang-ulang (klise-klise), dalam konteks-konteks tertentu, menjadi indikasi yang sangat jelas terkekangnya kesadaran yang tunduk pada penjelasan kehendak Tuhan melalui ketentuan-ketentuan hukum legal yang diterapkan seorang hakim.
- Kontinuitas Historis; antara Nalar Klasik dan Nalar Islam Kontemporer
Dalam hal ini kita perlu melihat perspektif “masa panjang” (al-muddah al-thawîlah)[7] —seperti digagas oleh Mohammed Arkoun yang diadopsinya dari Fernand Braudel; bahwa ada jurang pemisah antara masa awal-awal Islam, yaitu abad-abad pertama yang telah dikaji secara baik oleh para sejarahwan, dan antara dua puluh atau tiga puluh tahun terakhir yang telah dikaji oleh para peneliti ilmu-ilmu humanitas atau sosial. Antara dua masa ini tidak ada apa-apa. Bagaimana keberadaan jurang pemisah ini? Apakah faktor keberadaannya? Kenapa “masa panjang” yang di antara dua periode ini belum dikaji secara ilmiyah?
Sebenarnya, pertanyaan ini akan memunculkan masalah yang sulit dan tidak jelas, kaum sejarahwan menyebutnya dengan periodisasi (al-tahqîb al-zamanî). Periodisasi ini berpijak pada kualitas standar yang berlaku guna menyingkap masa-masa keterputusan dalam sejarah: yaitu masa-masa terjadinya perubahan besar yang menentukan laju perjalanan sejarah yang begitu panjang.
Pertama-tama kita akan melihat hal berikut: sebenarnya para sejarahwan seluruh negara, termasuk di antaranya para sejarahwan Eropa, sudah memilih standar politik untuk melakukan periodisasi (al-tahqîb al-zamanî). Ini sudah biasa mereka lakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Demikian kita mendapati misalnya, secara khusus berkaitan dengan konteks Islam, bahwa perubahan dinasti yang berkuasa atau penguasa atau raja, itulah yang menjadi titik penentu masalah periodisasi. Katakan misalnya: periode al-Khulafa’ al-Rasyidin (632 – 661), periode dinasti Umawiyah (661 – 750), periode dinasti Abbasiyah (750 – 1258), periode dinasti atau kesultanan Utsmaniyah (1517 – 1924) dan seterusnya.[8]
Selanjutnya kita melihat, sejarah Eropa sudah menorehkan penamaan-penamaan atau periodisasi-periodisasi yang mengarah pada pemaksaan hegemoninya terhadap masyarakat-masyarakat lain selain masyarakat-masyarakat Eropa yang memang lebih dinamis daripada lainnya: seperti Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan seterusnya. Demikian misalnya mereka berbicara mengenai masa-masa kuno (yaitu Yunani dan Roma), abad-abad pertengahan, masa-masa modern atau masa-masa kontemporer. Para penulis Arab kadang-kadang menggunakan periodisasi-periodisasi, kaum orientalis juga menerapkannya terhadap bidang khusus yang memang menjadi garapan mereka, yaitu sejarah Arab – Islam.
Namun penamaan “abad-abad pertengahan” atau penerapannya terhadap tradisi Arab – Islam benar-benar akan menimbulkan masalah. Kaum Muslimin secara umum, dan orang-orang Arab secara khusus, akan merasa marah ketika penamaan “buruk” ini diterapkan untuk mengkaji masa kejayaan peradaban mereka, yaitu peradaban yang terbentang dari perbatasan China hingga perbatasan Eropa atau dalam arena yang luas sekali. Yaitu periode yang biasanya disebut dengan “Islam Klasik” atau “Peradaban Islam Klasik” (La Civilisation de l’Islam Classique). Inilah judul buku yang dikarang oleh J. et D. Sourdel, terbitan Arthaud, Paris, 1976.[9]
Periode klasik dalam Islam ini terbentang dari tahun 561 hingga 1257, dengan periode kejayaan yang berkisar kira-kira antara tahun 800 – 1100. Artinya bahwa peradaban Arab – Islam pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad ketiga dan keempat Hijriah. Periode ini sudah menjadi fokus perhatian utama kaum orientalis. Kenyataannya, keluasaan keilmuan orientalisme itulah yang telah memberikan kontribusi melebihi yang lainnya pada abad kesembilan belas dalam membentuk konsepsi sejarah mengenai periode, di mana kaum Muslimin (baik dari orang-orang Arab, Turki dan Iran) lebih suka menganggapnya sebagai masa keemasan peradaban yang umumnya disebut (secara salah) dengan Islam.
Setelah runtuhnya kekhalifahan Baghdad tahun 1258, kerajaan ini kemudian terbagi-bagi. Inilah yang menyebabkan kebijakan-kebijakan dan kekuatan-kekuatan politik, jaringan-jaringan perdagangan, perpuratan-perputaran ekonomi di dalam wilayah luas itu yang dipengaruhi oleh fenomena Islam atau yang di dalamnya Islam menyebar, kembali bertumpang-tindih. Kemudian setelah itu orang-orang Utsmaniyah kembali menata struktur politik kerajaan ini yang membentang dari Irak, Aljazair dan seluruh Jazirah Arab. Saya tidak mengatakan bahwa mereka kembali melakukan penataan pemikiran dan peradaban, mereka hanya kembali melakukan penataan politik. Akan tetapi kekuasaan dinasti Utsmaniyah membentur kebangkitan Eropa berikut hegemoninya yang tak terlawan. Dikatakan demikian mengingat, pada kenyataannya, kebangkitan Eropa sudah dimulai jauh sebelum masa itu, yaitu sejak abad kedua belas. Untuk lebih jelasnya silahkan baca buku karangan J. Abu Lughod yang berjudul “Before european hegemony, The World System A. D. 1250 – 1350, Oxford University Press, 1989.[10]
Para sejarahwan (dari kaum orientalis dan yang lainnya) tertarik dengan kegemilangan peradaban klasik dan kilauan cahayanya. Oleh sebab itu, mereka sering berbicara secara panjang lebar tentang kemunduran dunia Islam sejak abad keempat belas Masehi. Akan tetapi mereka mulai merarik kembali pandangan tergesa-gesa dan glorifikatif ini yang malah memperbesar perbedaan antara dua periode sejarah Islam: periode klasik dan periode skolastik (al-ittibâ`iyyah=al-madrasâniyyah) pengulang-ulangan (al-tikrâriyyah). Benar, antara kedua periode tersebut memang terdapat perbedaan, namun tidak sebesar ini. Sebenarnya, secara ilmiyah, pengetahuan kita mengenai dua periode ini tidak sama, artinya bahwa pengetahuan kita mengenai yang pertama lebih besar daripada pengetahuan kita mengenai yang kedua. Kendati demikian, sejarah intelektualitas dan kebudayaan masyarakat-masyarakat yang disebut Islam mulai menurun dan melemah sejak abad kelima belas. Inilah fakta yang sebenarnya. Penurunan dan stagnasi ini menimpa fenomena pluralitas dogmatik yang mendominasi pada masa klasik, masa keemasan dan kreasi. Pengulang-ulangan dan pemamah-biakan (yaitu pengulang-ulangan ajaran-ajaran masa klasik dan para Imam Mujtahidin) menguasai aliran-aliran fikih yang masih tersisa. Maka sempurnalah pemberangusan terhadap filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu pengetahuan murni dan eksperimental), sehingga filsafat kemudian menjadi searti dengan heretodoksi dan atheisme: “Man tamanthaqa, faqad tazandaqa,” “Barang siapa yang menggunakan logika, maka dia telah menjadi atheis.”[11] Dan dogma-dogma atau doktrin-doktrin kuno sebelum Islam mulai mengepakkan sayapnya. Di samping itu, agama rakyat (al-dîn al-sya`bî) semakin menguat. Inilah faktor yang menyebabkan para peneliti dan kaum orientalis sangat mengabaikan kajian terhadap periode tersebut. Padahal pemahaman kita terhadap masa kini tergantung pemahaman kita terhadapnya. Maka, pemikiran Islam yang saat ini tengah menghegemoni di dalam masyarakat-masyarakat Islam, secara langsung, merupakan buah dari periode tersebut, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan periode di mana produktivitas dan kreativitas berkembang pesat, yaitu masa klasik. Sebagai buktinya, wacana-wacana al-Islâmawiyyah (atau salafisme) dengan kepentingan politik dan sosial yang besar sejak tahun 1970, mulai merefleksikan pelbagai kelupaan, pemberangusan, pemotongan, keberserak-serakan dan keterputusan yang secara tiba-tiba datang menimpa pemikiran Islam dalam ruang dan waktu sejak abad kelima belas, artinya bahwa Islam saat ini merupakan kontinuitas langsung dari Islam di masa kemunduran. Kalau dikaji secara teliti, kita akan melihat bahwa masa tersebut memang stagnan, melemah dan kering, sama halnya dengan pemikiran periode yang dikenal dengan masa kemunduran. Jadi tidak mungkin memahami masa kini tanpa terlebih dahulu memahami masa kemunduran. Dari itu saya katakan bahwa buku-buku yang saat ini memenuhi pasar di Eropa mengenai “Islam Radikal”, Ekstremisme Islam”, “Fundamentalisme”, “Salafisme” dan seterusnya, kalau dilihat —analisa-analisanya— masih kurang tajam (pada umumnya hal itu merupakan produk para peneliti dalam ilmu-ilmu politik). Dalam memahami fenomena fundamentalisme, tinjauan analitis buku-buku tersebut tidak menghujam jauh ke belakang, akan tetapi hanya berhenti pada periodisasi di tahun lima atau enam puluhan. Ini hanya bagian kecil dari waktu yang telah ada dan tidak cukup untuk memahami apa yang terjadi sekarang: maksud saya untuk memahami wacana-wacana yang saat ini sedang menghegemoni yang secara mendasar memuat esensi ideologis, dan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan agama dalam arti transendentalnya, yaitu dalam arti yang sebenarnya. Tetapi wacana-wacana tersebut muncul atas dasar sebagai wacana-wacana keagamaan atau keislaman dengan cara menggunakan sobekan-sobekan kamus kuno agama yang terpisah-pisah dan berserakan. Jadi, supaya dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam sekarang ini, kita harus mengambil bagian zaman yang lebih luas dan lebih panjang. Kita harus beroperasi di dalam bingkai “periode panjang” sejarah secara riil. Kita harus kembali ke masa skolastik yang berkuasa setelah runtuhnya peradaban klasik guna mengkaji proses sejarah yang begitu lamban yang telah menyebabkan kemerosotan nilai-nilai kebudayaan Arab – Islam dan merubah para pemikir menjadi hanya sebatas penjaga-penjaga ortodoksisme yang pada satu sisi sangat sempit dan jauh dari sumber-sumber pemikiran klasik, sementara pada sisi lain jauh dari instrumen-instrumen intelektualitas dan keilmuan yang dilahirkan oleh modernitas Eropa sejak abad kedelapan belas. Itu sebabnya, di sini akan dibicarakan mengenai dua keterputusan: keterputusan dari masa kreativitas tradisi Arab – Islam, dan keterputusan dari produk terbaik apa yang telah dihasilkan modernitas Eropa sejak empat abad yang lalu.[12]
Prespektif populer di Barat mengatakan bahwa “kemunduran dunia Islam” lebih disebabkan oleh faktor-faktor abadi dan intrinsik, yaitu oleh Islam itu sendiri sebagai sebuah agama. Mereka berkeyakinan bahwa Islam, berbeda dengan agama-agama lain (khususnya agama Kristen), sangat stagnan secara dogmatis atau teologis yang menjadi penghalang bagi kebangkitan dan perkembangan kaum Muslimin. Seperti dimaklumi bahwa Ernest Renan pernah mengajukan “penafsiran-penafsiran” semacam ini, kemudian penafsiran-penafsiran itu disebar-luaskan oleh aliran ideologi yang aktif di Barat. Dalam pandangan Renan, Islam, dilihat dari watak dan esensinya, sangat bertentangan dengan filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan, bahkan Islam sangat anti perkembangan dan perubahan, karena hal itu (filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan) merupakan bid`ah dan heretodoksi yang senantiasa dicekal oleh para ahli fikih. Dan perspektif terhadap Islam ini, ternyata masih diterima oleh ilmu pengetahuan modern. Kita harus meletakkannya dalam konteks historisnya, yaitu pada abad kesembilan belas Eropa positif dan etnosentris.
Jadi sebetulnya, antara masa klasik dan masa kontemporer Islam terdapat jurang pemisah yang jelas, tidak begitu sulit untuk melihatnya. Nalar Islam Kontemporer, dalam perspektif masa panjang ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Nalar Islam Klasik yang begitu terbuka, bebas dan cukup produktif. Dan kita sudah melihat dari karya al-Syafi`i di atas, di mana dengan kebebasannya dalam berfikir, dia mampu membuat suatu acuan hukum yang hingga saat ini masih diakui sebagai kebenaran tak terbantahkan. Kita juga bisa melihat karya-karya al-Jahizh, Miskawayh, al-Tauhidy dll. Dari karya-karya mereka ini, kita dapat menyaksikan bagaimana keagungan peradaban Islam saat itu. Dan Nalar Islam Kontemporer bukan merupakan “kelanjutan” dari Nalar Islam Klasik, akan merupakan “anak langsung” dari Nalar Islam Skolastik.
Dengan uraian di atas, setidaknya kita dapat mencirikan Nalar Islam sebagai berikut. Pertama, terikat dan tunduk kepada wahyu yang diakui berasal dari Tuhan. Peran nalar hanya sebatas melayani wahyu; memahami dan memahamkan hukum-hukum, ajaran-ajaran, beserta nasehat. Nalar hanya mengikuti, bukan diikuti, ia hanya dibolehkan berijtihad sebagai upaya untuk memahami dan memahamkan wahyu. Dalam hal ini, dalam posisi epistemik dan ontologis, nalar Islam tidak sendirian, Nalar Kristen dan Nalar Yahudi mengalami hal yang sama, keduanya tunduk kepada wahyu dengan konotasi teologis wahyu yang berbeda; akan tetapi nalar merupakan kapasitas pemahaman yang dimiliki oleh setiap manusia —dari jenis dan masyarakat manapun; yang membedakannya adalah kebudayaan, metode pendidikan, struktur sosial, sistem politik dan legitimasinya.[13] Kedua, tunduk kepada otoritas dan keagungan dan keharusan untuk mengikutinya. Otoritas tersebut terjelma dalam para imam mazhab, baik fikih, teologi, dan tasawuf. Segala apapun yang dihasilkan oleh para imam tersebut tidak boleh dipertanyakan dan diperdebatkan. Menolaknya berarti telah keluar dari “jalan yang benar”. Ketiga, ia memainkan perannya melalui pola pandang yang berpijak pada epistemologi Abad Pertengahan yang dianggap —meminjam istilah Prancis Fukuyama— sebagai The End of History peradaban Islam.[14]
Memahami Kritik Nalar Islam
Dalam memahami Kritik Nalar Islam (naqd al-`aql al-islâmî) secara epistemik kita perlu melihat dari dua sisi, dari sisi dekonstruktif yaitu melihatnya guna menganalisa komponen-komponen pemahamannya. Sedangkan sisi konstruktif yaitu melihatnya dengan maksud membatasi makna umumnya.
Sisi pertama: dekonstruksi komponen-komponen pemahaman
1- Kritik (al-naqd). Apa makna kritik? Apakah ia merupakan penjelasan mengenai kapasitas-kapasitas, sebagaimana dalam konsep Kant? Barangkali maksudnya adalah penjelasan mengenai batas-batas nalar Islam, berikut faktor-faktor gerakannya di luar batas-batas tersebut, atau mungkin pencarian faktor-faktor baru agar bisa lepas dari ikatan, sebagaimana dalam makna kata kerja (fi`l) “`aqala”. Artinya bahwa kritik (naqd) adalah re-kualifikasi atau re-deskripsi (‘i`âdah washf) komponen-komponen nalar Islam melalui aktivitas-aktivitas konstruktif dalam pelbagai aspek pengetahuan atau intelektualitas. Kalau kita membaca beberapa karya semisal proyek Naqd al-`Aql al-`Arabî-nya al-Jabiry, Naqd al-`Aql al-Islâmî-nya Mohammed Arkoun dll, kita akan melihat bahwa kritik mempunyai signifikasi analisis kritis historis terhadap sistem-sistem pengetahuan atau epistemologi dalam kebudayaan Islam.[15]
2- Nalar (al-`aql). Apa makna nalar? Adakah ia merupakan potensi berfikir, kemampuan yang ada pada subyek yang tahu, salah satu potensi jiwa sebagaimana dikatakan para ulama salaf? Atau apakah “cahaya fitrah” dan “indera pasti” seperti pandangan kaum modernis —sejak Descartes dalam “Cogeto” atau “Aku Berfikir” menurut Kant?
Dalam proyek besarnya, Naqd al-`Aql al-`Arabî, al-Jabiry menegaskan bahwa nalar adalah produk budaya (muntaj tsaqâfî), sebagai kreasi orang-orang bijak, baik para ahli teologi, filsuf, ahli ushul dan ahli iluminisme, bahkan juga para ahli fikih, ahli gramatika bahasa Arab, ahli tafsir, ahli hadis dan kaum historian. Nalar juga merupakan potensi, namun bukan informasi awal terhadap produk pemikiran, akan tetapi ia adalah hasil dari proses berfikir itu sendiri.
Sementara Hassan Hanafi mempunyai pandangan lain, menurutnya, “pemikiran” atau “kebudayaan” lebih tepat digunakan daripada nalar (al-`aql). Karena nalar adalah alat dan metode, sedangkan pemikiran dan kebudayaan adalah produk dan karya. Produk itu mencakup; (1) ilmu-ilmu naqliyah `aqliyah —teologi (kalam), filsafat (hikmah), tasawuf dan ushul; (2) ilmu-lmu naqliyah murni —al-Qur’an, hadis, tafsir, sejarah Nabi (sirah), fikih; (3) ilmu-ilmu aqliyah murni —matematika, arsitek, astronomi, musik, kedokteran, kimia, geografi dll. Ini sesuai dengan klasifikasi para filsuf, misalkan seperti al-Kindy, al-Faraby dan Ibn Sina.[16] Bahkan al-Jabiry sendiri masih mempertanyakan, nalar atau kebudayaan? Persoalannya banyak kata yang bisa dijadikan padanan; turâts (tradisi), al-mawrûts, al-fikir (pemikiran), al-tsaqâfah (kebudayaan) dan al-hadlârah (peradaban).
3- “Islam”, kata ini merupakan ranah di mana “nalar” berpijak, maksudnya adalah sekumpulan prinsip, dasar dan ketetapan yang menjadi sandaran nalar —lebih merupakan unsur-unsur penentu dan subtansi kritik. Namun ada pertanyaan, adakah nalar disifati dengan agama, atau ia hanya sekedar potensi rasional, kekuatan dalam jiwa, kemampuan untuk berfikir sebagai sebuah ekspresi diri melalui aktivitas sastra, kultural, ilmiyah dengan bahasa dan dalam konteks terbatas. “Islam” adalah sifat bagi produk budaya, bukan sifat bagi akal manusia. Sebenarnya pengkotak-kotakan nalar bermula dari Barat, yaitu pada abad kesembilan belas. Mereka berbicara tentang nalar Kristen, nalar Yahudi, nalar Islam dll. Mereka membeda-bedakan ini dengan tujuan membuat semacam tingkatan “teratas” dan “terendah”.
Dari hal-hal di atas dapat kita simpulkan poin-poin berikut:
Pertama, kritik merupakan pencarian terhadap sisi metodologis. Sedangkan nalar merupakan pencarian terhadap sisi mendasar, artinya pembentukan pengetahuan dengan sumber-sumber dan kaidah-kaidah.
Ketiga, “nalar” merupakan sisi yang dapat berubah (al-jânib al-mutaghayyir), sedangkan “Islam” merupakan sisi yang tetap (al-jânib al-tsâbit).[17] Al-mutaghayyir tidak boleh memisahkan diri dari al-tsâbit, sebagaimana al-tsâbit tidak boleh kehilangan al-mutaghayyir. Al-tsâbit memberikan unsur sistem terhadap al-mutaghayyir guna menjaganya dari kekacauan, sedangkan al-mutaghayyir memberikan unsur elastisitas dan gerakan terhadap al-tsâbit guna menjauhkannya dari kemandegan dan kejumudan.
Ketiga, “Islam” merupakan arah “kritik” dan “nalar”. Di samping itu bahwa nalar yang dimaksudkan dalam proses kritik merupakan nalar yang berhubungan dengan Islam sebagai dasar pijakan.
Adapun dari sisi konstruktif, mungkin bisa dikatakan bahwa Kritik Nalar Islam ditentukan dalam dua sistem, sistem pemikiran subyektif dan sistem pemikiran obyektif.
Ditinjau dari sistem pemikiran subyektif, Kritik Nalar Islam mempunyai arti upaya menyelidiki modernitas dari dasar-dasar Islam. Dalam hal ini ada tiga unsur:
1- Mengalihkan perhatian dari tradisi lama ke arah tradisi kontemporer dengan maksud melepaskan diri dari cengkraman masa lalu, ini mencakup hubungan nalar dengan dirinya.
2- Mengupayakan kemampuan dalam mengimbangi tuntutan-tuntutan masa kini dengan maksud melepaskan diri dari problematika ketertutupan, ini mencakup hubungan nalar dengan zamannya.
3- Menyingkap makna progresivitas (al-taqaddum) sekaligus menegaskannya dengan tujuan melepaskan diri dari kejumudan, ini mencakup hubungan nalar dengan diri dan zamannya secara bersamaan.
Sedangkan dari sistem pemikiran obyektif, pemahaman Kritik Nalar Islam berarti upaya membatasi deskripsi nalar yang kontradiktif dengan stagnasi dan fanatisme. Stagnasi adalah keadaan internal sebagai warisan dari masa kemunduran dan keterbelakangan. Sama halnya dengan subordinasi dalam fanatisme, yaitu keadaan eksternal sebagai konsekuensi kekalahan karena hegemoni Barat.
Stagnasi dan fanatisme tidak akan berdampak pada terpeliharanya identitas dan tradisi, sebagaimana subordinasi tidak akan menciptakan modernitas serta kemajuan. Keduanya tidak akan menyediakan ruang gerak bagi kritik.
Jadi Kritik Nalar Islam merupakan kritik terhadap dua hal di atas, yaitu sebagai sebuah proses guna melahirkan suatu “arus baru” yang selain mampu berinteraksi dengan tradisi tetapi tidak tertutup di dalamnya, juga mampu berinteraksi dengan masa kini tetapi tidak menjadi remuk karenanya. Kendati demikian, Kritik Nalar Islam tidak condong kepada suatu mazhab untuk melawan mazhab lain,[18] tidak pula berpijak pada suatu dogma untuk memberangus dogma-dogma lain yang muncul dalam sejarah. Kritik Nalar Islam adalah proyek historis dan antropologis secara bersamaan; ia akan memancing lahirnya persoalan-persoalan antropologis pada setiap fase sejarah. Informasi-informasi sejarah naratif yang menunjuk pada nama-nama, peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran saja tidak cukup tanpa mempertanyakan sejarah konsep-konsep dasar yang melembaga seperti agama, negara, masyarakat, hak-hak, haram, halal, suci, alam, nalar, imajinasi, irrasionalitas, pengetahuan historis, pengetahuan ilmiyah, pengetahuan filsafat dll. Para historikus pemikiran dan sastra, sudah melakukan historisasi terhadap konsep-konsep tersebut, tetapi kita masih saja membeda-bedakan, bahkan membangun tembok-tembok epistemik dan eksekutif antara bagian-bagian sejarah, sastra, filsafat, agama-agama, ilmu-ilmu politik, sosiologis dan antropologis. Tembok-tembok tersebut berdiri dengan sangat tingginya dalam masyarakat-masyarakat Islam, yang mana sejarahnya tidak sampai pada sebelum tahun lima dan enam puluhan; secara khusus, antropologi kita lihat masih belum ada dalam pelbagai program dan kesadaran, sehingga untuk membicarakan penerapan problematika-problematika ke dalam studi-studi keislaman menjadi sangat sulit.
Kritik Nalar Islam tidak cukup hanya dengan mengkaji Islam sebagai sebuah agama, pemikiran, kebudayaan, peradaban, sejarah, paradigma produksi historis manusia dan masyarakat-masyrakat; Orientalisme telah berupaya menorehkan perspektif yang tercurah pada “Islam” yang sepadan dengan perspektif kaum muslimin sendiri; keduanya menganggap bahwa fenomena yang saat ini mendominasi kehidupan kaum muslimin adalah “Islam” subtansialistik esensialistik yang tidak menerima perubahan dan berada di luar sejarah, di mana hingga saat ini masih berlangsung yang mempengaruhi otak, namun tidak bisa dipengaruhi. Kolusi ideologis antara kaum orientalis —tentu saja tidak semuanya— dan mayoritas kaum muslimin ini acapkali kita temukan. Proses “pembatuan nalar” ini sekarang sudah sampai pada tahapan ekstremisme teoritis dalam literatur-literatur akumulatif tentang “Islam fundamental” atau radikal fanatis teroris yang merupakan buah karya para ahli islamologi dan ilmu-ilmu politik.
Kita inginkan Kritik Nalar Islam tidak sampai pada itu saja, akan tetapi meluas hingga mencakup nalar teologis Ahl al-Kitâb, sehingga konsep Ahl al-Kitâb ini nantinya akan merubah menjadi konsep antropologis – historis: masyarakat-masyarakat Umm al-Kitâb dan al-Kitâb; kemudian mencakup juga kritik nalar keagamaan sehingga Islam dan agama-agama lainnya bisa menempati posisi yang layak dalam lapangan identifikasi antropologis terhadap nalar teologis yang berpijak pada otoritas “kekaisaran” Kristen, Islam, Buddha dan Hindu.[19]
Dari Ijtihad menuju Kritik Nalar Islam
Dalam tradisi pemikiran Islam, masalah ijtihad merupakan suatu keistimewaan yang hanya menjadi hak para ahli fikih atau al-a‘immah al-mujtahidîn yang merupakan peletak pelbagai dasar mazhab-mazhab besar teologi – hukum; mereka telah menetapkan teks-teks hukum, dogma-dogma ortodoksisme, dan ilmu usul fikih: yaitu metode normatif yang digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum secara benar dari teks-teks suci (al-Qur’an dan hadis). Di sini kita hanya menemukan beberapa kalimat saja, dan ini menunjukkan keterbatasan aktivitas ijtihad dalam pemikiran Islam klasik.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan modernitas rasional kultural material yang datang dari Barat sejak abad kesembilan belas, para ulama yang awalnya adalah reformis sebelum memasuki dan ikut serta dalam gerakan-gerakan politik perjuangan secara langsung dan terbuka, mereka telah berusaha dan masih berusaha untuk “membuka kembali pintu ijtihad”. Kita tahu bagaimana esensi ijtihad baru Muhammad Abduh yang merupakan metodologi pragmatis yang terbuka untuk meng-ingkorporasi konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai bid`ah berbahaya dalam bingkai tradisi Islam skolastik.[20]
Mohammed Arkoun, sebagai seorang sejahrawan pemikir, sejak tahun-tahun enam puluhan, telah berupaya melakukan perubahan dalam masalah ijtihad, terutama sejak bergulirnya “revolusi Islam”. Di antara faktor-faktor yang mendorong kebersandaran pada ijtihad lebih dari masa lalu adalah munculnya negara-negara merdeka di dunia Arab – Islam setelah terlibat konflik yang amat pahit guna mendapatkan kemerdekaan. Juga faktor demografis (pertumbuhan penduduk), yang selama duapuluh tahunan, secara mendasar telah merubah bingkai-bingkai sosial pengetahuan di seluruh masyarakat Islam dan Arab kontemporer.[21]
Dua fenomena besar ini sebetulnya perlu kita analisa secara mendalam, namun tidak bisa di sini, dan kita tidak akan, bahkan tidak bisa melupakannya. Sebelum melangkah lebih jauh, di sini, pertama-tama kita akan memberikan catatan penting: Ijtihad tidak hanya di masa lalu, dan untuk saat ini, ia tidak mungkin hanya sebatas “latihan-latihan otak” terhadap masalah-masalah teologis dan metodologi abstrak yang sama sekali jauh dari kebutuhan-kebutuhan negara dan masyarakat. Maksudnya, di sana terdapat teknik-teknik khusus dalam proses ijtihad, yang serupa dengan teknik-teknik menghitung [dalam matematika]. Seorang mujtahid misalnya berlatih menggunakan metode-metode Qiyas (Qiyâs al-far` `alâ al-ashl) sebelum melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa tertentu berkaitan dengan sebuah peristiwa baru dalam masyarakat (baca: bid`ah). Ini berarti, dalam setiap keadaan, pada setiap orang yang melakukan ijtihad, kita harus menyingkap penyimpangan-penyimpangan ideologis yang mengiringi proses “latihan-latihan otak” ini yang mereka tampakkan atas dasar bahwa aktivitas tersebut merupakan “gesekan” langsung ruh manusia dengan firman Tuhan guna memahami secara benar[22] maksud-maksud final dan makna-makna dasar yang dapat menjelaskan hukum agama dan menjamin legalitas aktivitas-aktivitas manusia dan pemikirannya selama keberadaan mereka di muka bumi.
Sesuatu yang perlu kita perhatikan di sini adalah “pengakuan berlebihan” dari para ahli fikih bahwa mereka mampu untuk bersentuhan secara langsung dengan firman Tuhan dan mampu memahami maksud-maksudnya yang transenden, menjelaskannya dan “mengkristalisasikannya dalam hukum agama (al-qânûn al-dînî), lalu setelah itu ditetapkan sebagai hukum Tuhan dan menjadi hukum-hukum legal-formal yang secara “abadi” harus mengatur setiap tindakan dan pemikiran yang dilakukan oleh seorang mukmin yang tunduk pada Tuhan. Di sinilah sakralisasi dan transendentalisasi terjadi, padahal itu bukan aktivitas langsung Tuhan, akan tetapi betul-betul aktivitas manusia. Kita cukup tahu bagaimana syariat terbentuk secara historis di tangan para rijâl al-dîn yang berupaya menafsirkan teks-teks di abad-abad pertama di dalam kondisi-kondisi sosial – historis yang sangat terbatas. Memang, para ahli fikih mengakui kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses ijtihad, akan tetapi struktur rasional ilmu usuluddin dan usul fikih telah memperkuat “pengakuan” mereka terhadap kapasitas teks hukum yang telah menjelma menjadi ortodoksisme. Ortodoksisme di sini artinya “penafsiran yang benar dan lurus” terhadap teks-teks suci, dengan menganggap yang lain sebagai kesesatan. Secara literal ortodoksisme berarti “jalan yang lurus”, namun secara terminologis berarti stagnasi dan ketertutupan, serta pemaksaan satu aliran penafsiran, bahkan kadang mendapat dukungan dari otoritas politik (baca: negara).[23]
Demikian kita melihat sejauh mana akumulasi “warisan” yang sampai pada kita. Kita perlu mengkajinya secara mendalam ketika, saat ini, kita akan ikut andil dalam tugas yang sangat berat berupa “penggeseran” (deplacement) syarat-syarat teoritis ijtihad berikut batasan-batasannya dalam ranah teologi – hukum yang telah ditetapkan oleh para ahli fikih, ke arah persoalan-persoalan mendasar yang hingga saat ini belum mendapat respon positif dalam tradisi Islam: Kritik Nalar Islam.
Kritik Nalar Islam sebenarnya merupakan proyek besar Mohammed Arkoun. Namun hingga saat ini, dalam kondisi masyarakat Islam yang masih belum bisa melampaui, atau bahkan belum sampai pada era modern, proyek penting ini tidak menempati posisi strategis. Kritik Nalar Islam yang digagas Arkoun terfokus pada wahyu “yang terberi” dan tradisi Islam. Di sinilah sebetulnya letak signifikansi dan makna konsep nalar Islam. Nalar Islam tidak berarti nalar yang khusus, yang membedakan kaum muslimin dengan lainnya. Secara umum nalar berarti potensi yang ada pada setiap manusia. Perbedaannya hanya terletak pada ajektif “Islam”. Maksudnya adalah terkandung dalam informasi wahyu, yang oleh Arkoun disebut dengan “pengalaman Madinah”, dan pengalaman ini dikemudian hari, setelah melalui proses-proses ijtihad yang beruntun menjadi: “paradigma Madinah”.[24]
Untuk dapat melintasi perjalanan panjang dan sulit itu yang terbentang antara Ijtihad dan “pintu gerbang” Kritik Nalar Islam, menurut Arkoun tidak ada contoh yang lebih jelas dan cocok untuk diterapkan daripada mengkaji kedudukan perempuan dalam syariat. Kita tahu, dalam hal ini, bagaimana perempuan, dalam masyarakat-masyarakat Islam, telah menjadi sasaran perdebatan-perdebatan yang sangat keras, konflik-konflik yang berkobar, dan studi-studi yang cukup kontroversial. Ketika kita melangkah untuk kembali melihat posisi perempuan yang telah ditetapkan syariat melalui ayat-ayat al-Qur’an, sebenarnya kita telah menginjakkan kaki di wilayah “pengkafiran”; dianggap keluar dari komunitas muslim.
Masih dalam batas kewajaran, ketika para ulama “marah” manakala ada orang yang menggunakan teks-teks suci serta tradisi yang diwariskan secara salah, atau ketika mempermainkannya secara sewenang-wenang. Dari itu kita harus mempersiapkan diri secara ilmiyah dalam upaya menguasai segala sesuatu yang berkenaan pengetahuan teks-teks kuno serta syarat-syarat teknis ijtihad klasik. Itulah yang harus kita kuasai terlebih dahulu, tidak menganggapnya sebagai tradisi yang tidak berguna. Sebab, perpindahan dari periode Ijtihad Klasik menuju periode Kritik Nalar Islam harus didesain atas dasar bahwa ia (Kritik Nalar Islam) merupakan kelanjutan Ijtihad Klasik dan pematangan terhadapnya. Inilah yang harus dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh para ulama sendiri. Jadi kita tidak hendak memutuskan diri dari tradisi sebagaimana terlihat dalam beberapa upaya studi tradisi di wilayah Arab. Mereka dengan “progresivitas” dan “modernitas”nya meyakini kemungkinan “penghinaan” terhadap tradisi dan masa lalu, melepaskannya tanpa memasuki “dialektika kebenaran” dengannya dari dalam.
Akan tetapi hal itu tentunnya mengharuskan para ulama untuk mengerahkan upaya dan melangkah setapak demi setapak. Untuk saat ini, para ulama harus melakukan seperti apa yang dilakukan oleh para pendahulu mereka di masa klasik. Dengan kata lain, mereka harus melangkah dengan pasti ke arah modernitas rasional dan intelektual. Dan kita, selain harus menguasai teknik-teknik ijtihad klasik, ilmu-ilmu, serta metode-metodenya, juga tidak boleh menutup mata terhadap ilmu-ilmu modern; tentu saja dengan tidak “melukai” kesadaran keimanan atau mempelakukannya secara tidak baik. Nah di sinilah para ulama tradisional dituntut untuk memainkan peran sebagai “penengah” yang kredibel antara kesadaran keimanan dan antara tuntutan-tuntutan pengetahuan ilmiyah modern.
Epilog
Dengan uraian singkat di atas, kita menjadi tahu bahwa Kritik Nalar Islam tidak berarti melakukan aktivitas negatif dan destruktif sebagaimana dipahami banyak orang. Tidak juga berarti merombak pengalaman spiritual besar Islam yang lurus (al-hanîf); pengalaman yang muncul setelah al-Qur’an dalam karya-karya dan tokoh-tokoh Islam yang berpijak pada seluruh aliran atau mazhab: Sunni, Syi`ah, Muktazilah, kaum sufi, kaum filsuf dll, akan tetapi merupakan kritik terhadap inkorporasi historis dan aplikatif prinsip-prinsip paradigma spiritual. Ada wahyu dan sejarah, ada paradigma dan penerapan.
Wahyu, secara definitif, berada di luar sejarah. Akan tetapi inkorporasi prinsip-prinsipnya di alam nyata, juga dalam jejalan konflik-konflik dogmatis dan politis, pergulatan kepentingan, serta persaingan terhadap hal-hal duniawi, telah membawa implikasi negatif terhadapnya; yaitu menempelnya noda-noda material, sehingga menyebabkannya menurun, dari “posisi transendental” kepada “lumpur realitas”. Dengan demikian, kritik historis yang kita lakukan, akan membebaskan pengalaman spiritual Islam dari kotoran-kotoran yang menodainya sepanjang sejarah. Sehingga Kritik Nalar Islam tidak bisa dikatakan sebagai aktivitas negatif, justru sebaliknya sebagai aktivitas positif, bahkan saat ini menjadi sesuatu yang sangat urgen melihat semakin menyebarnya pelbagai bentuk pemberangusan pemahaman dan pengkajiannya di seluruh penjuru dunia Islam. Yang sakral tidak akan kembali menjadi sakral, keagungan agama tidak akan kembali seperti semula, sebagaimana halnya yang transenden tidak akan murni seperti sedia kala, kecuali setelah meletakkan pengalaman teologis Islam pada ranah kritik historis yang tegas. Ketika itulah kita akan dapat membedakan antara benang putih dan benang hitam, dan akan nampak pula titik-titik temu antara wahyu dan sejarah. Ketika itu kita juga akan memahami struktur-struktur teologis yang ada dengan segala bentuknya (dari tafsir, fikih, hadis, ilmu kalam, dll), tak lain hanyalah buatan manusia, dan kitapun berhak menundukkannya pada studi historis.
Kita mendapatkan bahwa studi teoritis dan aplikatif yang kita lakukan akan membebaskan kita dari pandangan-pandangan sempit yang dianggap sebagai kebenaran-kebenaran yang tidak bisa diperdebatkan, untuk kemudian akan membuka “ruang lain” yang menampung pandangan baru tentang Islam dan tradisi. Inilah tujuan Kritik Nalar Islam: memperbaharui pemikiran Islam supaya lebih mampu menghadapi problem-problem masyarakat kita saat ini.
[1] Disampaikan dalam kajian inklusif Fosgama, tgl 30 September 2006 M.
[2] Peneliti lepas di IAC (IKBAL Averroes Community)
[3] Di sini saya sengaja tidak menggunakan “Nalar Arab”, akan tetapi menggunakan “Nalar Islam”, kenapa? Apa bedanya antara Nalar Arab dengan Nalar Islam?
Di Maroko sana, seorang pemikir kenamaan, yaitu Mohammad Abied al-Jabiry, menawarkan proyek “Kritik Nalar Arab”. Proyek ini bisa dikatakan sebagai upaya paling penting yang ada di wilayah Arab. Dengan proyeknya ini, al-Jabiry telah memberikan kontribusi signifikan dalam gerakan konsumerisme tradisi secara ideologis. Dengan makna lain, dia berusaha menunjukkan keistimewaan-keistimewaan masa klasik (masa keemasan peradaban Arab – Islam), berusaha memuaskan orang-orang Arab saat ini bahwa mereka mempunyai masa lalu yang agung, dan bahwa mereka bisa berpijak kepadanya untuk dapat menghadapi modernitas Eropa. Masalahnya, solusi yang dibutuhkan saat ini tidak terletak pada konsumerisme ideologis terhadap tradisi, atau berbangga-bangga dengan para “nenek moyang”, akan tetapi terletak pada penganggapan tradisi ini sebagai starting point untuk menyusul laju peradaban dan masa. Tradisi Arab – Islam di masa klasik, kendati sangat penting dan agung, masih terpenjara dalam ruang lingkup nalar abad pertengahan. Ia bukanlah solusi, tetapi sebagai “wasilah” yang kalau kita tahu menggunakan secara baik, mengembangkannya dan melampauinya, maka kita akan sampai pada solusi yang diharapkan. Di sini konsep Nalar Islam nampak lebih riil daripada konsep Nalar Arab. Nalar Islam ada pada teks-teks, kita bisa menyentuhnya secara jelas, karena setiap hari kita berpapasan dengannya. Dengan demikian, mengkajinya secara kritis —bukan secara abstraktif— merupakan sesuatu yang mungkin. Bahkan dengan makna ini, Kritik Nalar Islam merupakan langkah pertama agar kaum muslimin bisa memasuki modernisme; menguasai modernisme. Kenyataannya al-Jabiry tidak menggunakan konsep “Kritik Nalar Islam”, tetapi menggantinya dengan “Kritik Nalar Arab” untuk menenangkan dirinya dan menjauhi problem-problem dan tanggungjawab-tanggungjawab. Ini adalah trik yang sangat jelas sekali. Masalah yang muncul saat ini dan esok adalah masalah Kritik Nalar Islam, sebab Nalar Arab sendiri adalah Nalar Agama, atau masih belum melampaui masa keagamaan. Bagaimana mungkin kita mengkritik Nalar Arab tanpa mengkritik Nalar Agama?! Ini mustahil. Makanya kritik terhadap Nalar Teologi Abad Pertengahan yang tengah menguasai kita sejak ratusan tahun yang lalu merupakan tugas besar bagi kebudayaan Arab secara keseluruhan. Tanpa melakukan ini, kita tidak akan menemukan penyelesaian.
Namun tidak berarti bahwa al-Jabiry belum melakukan apa-apa, upayanya sangat signifikatif, tetapi itu tidak cukup. Kita perlu melihat lebih mendalam dan lebih jauh. Singkatnya, harus masuk pada dasar permasalahan, kritik harus sampai pada akar-akarnya, tidak cukup hanya dengan menyentuh kulit luarnya saja. (Mohammed Arkoun, Qadhâyâ fî Naqd al-`Aql al-Dînî, Kaifa Nafham al-Islâm al-Yawm?, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Beirut: Dar al-Thali`ah, cet. III, 2004, hal. 331)
[4] Mohammed Arkoun, Târikhîyyah al-Fikr al-`Arabî al-Islâmî, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Beirut-Lebanon: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, cet. III, 1998, hal. 66
[5] Ibid., hal. 67
[6] Ibid., hal. 68
[7] Di antara istilah yang pernah diciptakan Fernand Braudel adalah: Masa Panjang (al-Muddah al-Thawîlah), Masa Tengah-tengah (al-Muddah al-Mutawassithah), dan Masa Pendek (al-Muddah al-Qashîrah) sejarah. Ini berlaku pada sejarah Kristen – Eropa sebagaimana juga berlaku pada sejarah Arab – Islam. Periodisasi semacam ini sangat berguna dalam mengkaji suatu fenomena melalui beberapa perspektif yang berbeda. Terdapat perbedaan jelas ketika kita melihat sebuah fenomena (misalnya fenomena yang disebut “kekerasan”) melalui “masa pendek” atau “masa panjang” sejarah (masa pendek berkisar antara beberapa tahun dan dua puluh tahunan, masa tengah-tengah lebih dari lima puluh hingga seratus tahun, adapun masa panjang lebih dari beberapa abad hingga seribu tahun, atau barangkali lebih). Kadang kita terpaksa meletakkan sebuah fenomena dalam perspektif masa panjang untuk memahami akar-akarnya yang paling dalam. Kadang kita tidak bisa melihatnya atau tidak memahami apa-apa kecuali dengan cukup mempelajarinya melalui masa pendek...
[8] Mohammed Arkoun, al-Islâm, al-Awrûbâ, al-Gharb, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Beirut – Lebanon: Dar al-Saqi, cet. III, 2001, hal. (passim)
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Inilah yang disebut dengan masa kemunduran atau periode skolastik. Kualitas nalar yang dominan pada waktu itu adalah “nalar sempit”, nalar yang membuang pemikiran filsafat secara menyeluruh, nalar yang terikat dengan ajaran-ajaran aliran tertentu atau iklim tertentu (mazhab Maliki, Hanbali, Hanafi, Syafi`i, Imami dll...). Setiap aliran hanya fanatik terhadap diri masing-masing; ada semacam persaingan.Hal ini kita lihat dengan adanya keterputusan besar antara Islam Sunni dan Islam Syi`ah setelah abad ketiga belas Masehi, keduanya seolah-olah berpijak pada dua dunia atau tradisi yang berbeda sama sekali. Padahal keduanya bersandar pada akar yang sama, sumber yang sama, dan sejarah yang sama. Lalu kebodohan semakin bertambah dalam “pengisolasian diri” seiring dengan tajamnya sensitivitas aliran dan kelompok. Hingga saat ini kita masih mewarisinya. Makanya tugas yang ada dihadapan kita sangat besar, pekerjaan masih belum selesai. Demikianlah bagimana Nalar Islam menjadi tertutup dan menyempit seiring dengan tertutupnya kondisi-kondisi sosial, ekonomi, di samping ketakutan terhadap agresi-agresi internal dan eskternal. Padahal di masa klasik, nalar masih bebas dan produktif, sedangkan perdebatan-perdebatan dogmatik antara pelbagai aliran masih terbuka. Namun di masa kemunduran, semuanya menjadi terpecah dan saling bermusuhan. Berfikir menjadi semacam momok, atau semacam tindak kriminal atau suatu dosa. Manusia saling membenci antara satu dengan lainnya, mereka fanatik terhadap dogma kelompoknya yang sempit...
[12] Ibid. Sebagai tambahan informasi, bisa juga dibaca buku “Islam Als Patner” karya Fritz Steppat.
[13] Mohammed Arkoun, Min Faishal al-Tafriqah ilâ Fashl al-Maqâl, Ayna Huwa al-Fikr al-Islâmî al-Mu`âshir, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Beirut – Lebanon: Dar al-Saqi, cet. II, 1995, hal. XIV
[14] Mohammad Arkoun, al-Fikr al-Islâmî, Naqd wa Ijtihâd, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Beirut – Lebanon: Dar al-Saqi, cet I, 2000, hal (passim).
[15] Hassan Hanafi, Naqd al-`Aql al-`Arabî fi Mir’ât “al-Turâts wa al-Tajdîd”, dalam al-Turâts wa al-Nahdlah: Qirâ’ah fi ‘A`mâl Muhammad `Âbid al-Jâbirî, Beirut-Lebanon: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyyah, cet. I, 2004, hal. 232.
[16] Al-Jabiry, Takwîn al-`Aql al-`Arabî, Beirut-Lebanon: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyyah, cet. V, 1991, hal. 11 dan 36.
[17] “Islam” yang dimaksud di sini adalah Islam yang “sakral” sebagai sebuah nilai yang ada dalam firman Tuhan; sebelum menjadi prinsip-prinsip yang diaplikasikan dalam sejarah manusia.
[18] Al-Qur’an sebagai kitab pokok dengan bahasa metaforis transenden, sebagaimana seluruh kitab keagamaan lainnya, sejak awal telah membawa beberapa penafsiran dan inkorporasi historis. Dari itu, tidak ada yang namanya “Islam benar” dan “Islam salah”, yang ada hanyalah beberapa penampakan dari ajaran yang terkandung di dalamnya. Setiap kelompok sosial – historis memahami al-Qur’an dengan cara tertentu dan merubahnya menjadi dogma esensial yang tertutup, seluruh penafsiran lain diklaim sebagai kesesatan dan penyimpangan. Demikianlah kelompok-kelompok Islam muncul dalam sejarah. Dengan demikian, kita perlu merubah perspektif teologis lama yang mendominasi kitab-kitab al-milal wa al-nihal, dengan kata lain, kita harus keluar darinya untuk memasuki perspektif sosial – historis. Dan itu akan memungkinkan kita memahami permasalahan dengan sebenarnya dan kita keluar dari wilayah pandangan-pandangan yang menguasai kita sejak abad pertengahan. Syi`ah mengklain dirinya sebagai Islam yang benar, Ahl al-Sunnah mengklain dirinya sebagai Islam yang benar, kelompok khawarij juga mengklaim dirinya sebagai Islam yang benar, mana yang akan kita percaya? Setiap kelompok mengklaim dirinya sebagai Islam yang benar, sedangkan yang lain dianggap sesat dan menyimpang yang akan masuk neraka. Memang, Ahl al-Sunnah mampu menorehkan perspektif mereka dan memonopoli Islam yang benar untuk dirinya sendiri, karena mereka didukung oleh otoritas politik (Umawiyah, Abbasiyah, Saljuk, Utsmaniyah...). Dengan kekuatan politik, Ahl al-Sunnah berhasil memaksakan mazhab dan perspektif mereka. Akan tetapi, secara dogmatis, mereka tidak bisa memaksakannya kepada semua. Mereka kemudian mencampuradukkan antara kesuksesan politik dan kesuksesan dogmatik, inilah kebiasaan kelompok yang menang, bukan hanya Ahl al-Sunnah. Syi`ah juga melakukan hal yang sama di Iran. Apa itu Islam yang benar di Iran? Islam yang benar di Iran adalah mazhab Syi`ah al-Itsna al-`Asyariy, sedangkan Ahl al-Sunnah yang merupakan kelompok minoritas disingkirkan dan dikeluarkan dari jalan yang lurus dan Islam yang benar. Jadi setiap kelompok menggunakan ideologi tertentu untuk kemudian dipaksakan terhadap jama`ahnya sebagai kebenaran mutlak agama. Realitanya ini akan membentuk diskursus-diskursus justifikatif. Di sini kita berada pada mekanisme sosial yang terkait dengan pembentukan ideologi oleh kelompok sosial tertentu. Jumlah, banyak atau sedikit, dalam setiap kelompok tidak penting, yang penting adalah mekanismenya. Makanya kita perlu bersandar pada pendekatan sosial, historis dan antropologis terhadap apa yang kita sebut dengan kebenaran atau agama yang benar atau mazhab yang benar. Kalau tidak, maka selamanya kita akan tetap terpenjara dalam perspektif teologi tradisional. Ini merupakan “penggeseran epistemologis” . Inilah makna simbol yang digagas Mohammed Arkoun: melintasi posisi-posisi tradisional orientalisme klasik. Kita dapati bahwa liberasi pemikiran dalam Islam tidak akan pernah tercapai tanpa melakukan aktivitas yang —sebagian orang— amat berbahaya. Selama kita masih terpenjara dalam perspektif konvesional, kita tidak akan menemukan solusi dan jalan keluar. Kelompok Sunni akan tetap mengklaim dirinya sebagai Islam yang benar, sedangkan yang lain telah menyimpang. Kelompok Syi`ah juga akan berkeyakinan yang sama. Tidak mungkin kita dapat keluar dari daerah yang tertutup ini kecuali setelah “menggeser” problematika konvensional dari posisi-posisi eksklusifnya sejak abad-abad pertengahan. Mazhab-mazhab Islam tidak akan pernah damai selama kita masih berpegang teguh pada posisi-posisi konvensional yang telah kadaluarsa. Setiap mazhab harus mengakui historitasnya agar bisa memahami relativitasnya dan eksistensi mazhab-mazhab lainnya. Itu semua merupakan mazhab-mazhab lain yang bersumber dari yang asli: al-Qur’an. Al-Qur’an bukan Sunni, bukan juga Syi`ah, akan tetapi milik semua. Pada al-Qur’an mereka semua bertemu, Sunni sebagimana Syi`ah. Demikianlah mungkin “penyatuan kesadaran Islam” dan melampaui perpecahan-perpecahannya dengan cara kembali kepada asalnya (al-ashl), bukan kepada cabangnya (al-far`).
[19] Lain halnya dengan Yahudi yang tidak bersandar pada Negara independen kecuali setelah pendirian Negara Israel sebagaimana telah kita ketahui.
[20] Mohammed Arkoun, Min al-Ijtihâd ilâ Naqd al-`Aql al-Islâmî, diterjemahkan oleh Hasyim Shaleh, Beirut – Lebanon: Dar al-Saqi, cet. II, 1993, hal. 12
[21] Ibid., hal. 14
[22] Maksud “pemahaman yang benar” di sini adalah “fikih” dalam makna asalnya (=memahami), seperti memahami firman Tuhan, yaitu memahaminya hingga menembus rahasia-rahasianya. Lalu setelah itu muncul istilah “fikih” dalam makna lain = hukum).
[23] Catatan kaki Hasyim Shaleh dalam buku Mohammed Arkoun, Min al-Ijtihâd ilâ Naqd al-`Aql al-Islâmî, hal. 16
[24] Ibid., hal. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar