Bedah Buku:
Al-Khilafah wa al-Mulk
Karya Abu al-A’la al-Maududi
Kajian Bindhara FOSGAMA (Forum studi Keluarga Madura) Kairo-Mesir
21 Februari 2007
Perspektif Abu al-A’la al-Maududi tentang
al-Khilafah al-Islamiyah dan Kerajaan*
Oleh: Muhamad Syadid **
Abstraksi
Makalah ini membahas tentang: (1) Perihal Abu al-A’la al-Maududi; riwayat hidup, sepak terjang beliau dalam kancah politik, dll (2) Tentang buku Al-Khilafah wa al-Mulk (3) Inti pembahasan buku (4) Kelebihan, kekurangan gagasan buku serta kritik terhadapnya.
Prolog
Dari hari kehari wacana khilafah Islamiyah makin kencang dilontarkan oleh sebagian kelompok umat Islam, lebih-lebih setelah jatuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tgl 3. Maret 1924. Khilafah Utsmaniyah barakhir sejalan dengan kencang tuntutan kemerdekaan di berbagai negara kolonial yang berpenduduk mayoritas Muslim, seperti negara yang ada di kawasan Asia Tenggara, Afrika utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain. Negara-negara kolonial melihat bahwa kekuasan Turki Usmani yang kuat yang menguasai Timur Tengah dan negara-negara “Eropa Timur” karena kekuatan Khalifah yang amat tinggi. Khilafah amat berkaitan dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin besar. Pada konteks ini, kepemimpinan sesudah Nabi saw. yang fungsinya mengemban tugas-tugas kenabian, khilafat al-nubuwwah, yaitu, hirasat al-din dan siyasat al-dunya, menjaga agama dan mengatur urusan dunia”. Pengemban tugas khalifah sesudah Nabi, ada yang bergelar Khulafa Rasyidun, sebagai pengemban amanah kekuasaan yang dinilai baik oleh para sejarawan, sementara khalifah sesudahnya, walaupun dalam pelaksanaannya banyak mendukung berkembangnya dakwah dan peradaban Islam, tetapi dalam praktek kenegaraan dan ketatanegaraan mengandalkan keturunan, “semi kerajaan”, sebagaimana terjadi sampai kekuasaan Turki Usmani. Sementara itu, gelar kekuasaan berbeda-beda, seperti sultan-sultan dan amir-amir di negara-negara kecil. Masalahnya sekarang bagaimana konsep khilafah dalam Islam dan bagaimana pula keberadaan negara-negara nasional sekarang dikaitkaan dengan konsep khilafah masa silam. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa pendekatan yang digunakan dan menjadi problem epistemologis (metode berfikir) sepanjang masa, khususnya di kalangan fuqaha siyasah.
Para khalifah pasca Khulafa Rasyidun dari tahun 661 M-1924 M sebanyak Tujuh dinasti dengan , yaitu Bani Umayah (661-750 M- 14 orang), Bani Abbas (750-1258 M- 37 orang), Bani Umayah Spanyol (756-1031 M- 18 orang), Fathimiyah Mesir (909-1171 M- 14 orang), Turki Usmani (1299 – 1924 M- 37 orang), Syafawi Iran (1501-1722 M- 9 orang), Moghul India (1526-1858 tak jelas berapa banyaknya).
Ada tiga kelompok pemikir Muslim dalam memaknai negara khilafah. Pertama, menolak sama sekali Islam memiliki konsep negara dalam Islam, seperti dikemukakan oleh Thaha Husein dan Ali Abdurraziq dalam karyanya, Al-Islam wa Ushul al-Hukmi. Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang tidak mengakui sama sekali agama berkiprah dalam politik. Mereka menyamakan Islam dengan Nasrani. Kedua, Islam memiliki nilai-nilai pemerintahan yang terkandung di dalamnya, seperti dikemukakan oleh ulama Mesir, penulis Hayatu Muhammad, yaitu Muhammad Husein Haikal; ketiga, mengharuskan kembali ke masa Nabi para Khulafa Rasyidun, seperti dikemukakan Hasan Al-banna, Sayyid Qutub, Syaikh Rasyid Rida, dan Abu al-A'la al-Mududi, bahkan dikehendaki agar kekhilafahan juga ditegakkan kembali, seperti dikemukakan oleh Taqiyuddin al-Nabhani. Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah adalah wajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karena daulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil. ”
(1) Sekelumit tentang Abu al-A’la al-Maududi
Sayyid Abu al-A'la Maududi (السيد ابو الاعلى المودودی) merupakan salah seorang ulama abad ke-20 dan penggagas Jamaat al-Islami (Parti Islam) . Maulana Maududi merupakan seorang ahli falsafah, sastrawan, dan aktivis yang aktif dalam pergerakan dan perjuangan Islam di seluruh dunia. Abu al-A’la al-Maududi mendapat ilham dari perjuangan Sayyid Qutb di Mesir yaitu Jamaah al-Ikhwan al-Muslimun . Sebagaimana Sayyid Qutb, Maududi merupakan tokoh perjuangan Islam seluruh dunia.
Maulana Maududi, lahir pada 3 Rajab, 1321 H (25 September , 1903 M) di Aurangabad Beliau merupakan seorang Sayyid, yang berketurunan Muhammad. Beliau seorang pemimpin spiritual bertaraf wali / Sufi. Ayah Abu al-A’la al-Maududi ialah Ahmad Hasan yang lahir pada 1855 M , anak bungsu dari 3 kakak beradik. Abu al-A’la al-Maududi mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad, bukan sekolah Islam bandar Hyderabad (sekarang Maharashtra) negeri, India. Kemudian melanjutkan pelajaran di Darul Ulum di Hyderabad. Mahir berbahasa Arab, bahasa Persi, bahasa Inggris,dan bahasa Urdu. Tahun 1918 ,ketika usia 15 tahun, mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya.Tahun 1920, berprofesi sebagai editor surat khabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore sekarang negeri Madhya Pradesh , India. Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat khabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i ‘Ulama-i Hind,sebuah partai politik. Hasil kepimpinannya sebagai editor , al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk orang Islam di Asia Selatan ( India, Pakistan, Bangladesh , Sri Langka dan Maldive). Maulana Maududi terlibat membentuk Pergerakan Khilafah dan Tahrik- al Hijrat, yaitu Persatuan Asia Selatan yang menentang penjajahan kolonial inggris. Beliau memprovokatori Muslim India berhijrah ke Afghanistan untuk menentang pemerintahan British. Zaman itu ,Maulana Maududi mulai menterjemahkan buku berbahasa Arab dan bahasa Inggris ke bahasa Urdu. Beliau juga telah menulis buku berjudul al-Jihad fi al-Islam -Jihad dalam Islam- diterbitkan secara berkala dengan nama al-Jam’iyat tahun 1927. Tahun 1933, Maulana Maududi menjadi editor majalah bulanan Terjemah al-Qur'an. Bidang penulisan beliau ialah tentang Islam , konflik antara Islam dengan Imperialisme dan modenisasi. Beliau mengemukakan penyelesaian Islam dan Islam ada jawaban bagi setiap permasalahan masyarakat Islam yang dijajah. Bersama dengan ahli filusuf dan ulama Muhammad Iqbal, Maulana Maududi menggagas pusat pendidikan Darul-Islam di bandar Pathankot di wilayah Punjab . Pusat pendidikan ini ialah melahirkan pelajar yang mempunyai falsafah politik Islam. Maulana Maududi mengkritik habis konsep-konsep Barat seperti nasionalisme, pluralisme and feminisme di mana semua ide ini adalah alat Barat untuk menjajah umat Islam. Beliau menegaskan ummat islam untuk bisa mandiri , jihad –berjuang- sehingga berjaya menegakkan negara Islam yang syumul. Maududi telah menterjemah dan menafsirkan al-Qur'an kebahasa Urdu dan menulis banyak artikel berkenaan udang-undang Islam dan kebudayaan masyarakat Islam.
(2) Tentang buku Al-Khilafah wa al-Mulk
Buku ini terdiri dari sembilan bab, dalam Bab I berisi tentang penjelasan Abu al-a'la al-maududi pelajaran apa saja yang bisa diambil dari al-Qur'an tentang al-Siyasah -politik-misalnya tashawwur al-Qur’an bahwa Allah pencipta alam semesta, manusia dan apa saja yang bisa bermanfaat untuk manusia / , bahwasanya Allah SWT adalah pemilik alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya (Qs al-Baqarah:107; al-An’am:57).
Selain itu beliau juga menegaskan bahwa Undang-undang tertinggi adalah hukum yang telah dibuat oleh sang Maha pencipta Allah ‘azza wa jalla (Qs AL-ahzab:36; an-Nur: 47-48) . Dalam bab yang sama maududi menjelaskan pentingnya asas syura diantara kaum mukminin atau pemilihan umum yang berjalan diatas kebenaran dalam rangka penegakan daulah Islamiyah dan pemilihan rais daulah dan pengatur kekuasaan pemerintahan. Tujuan dari penegakan Daulah Islamiyah terdiri dari dua hal: pertama: menegakkan keadilan yang berdiri diatas landasan kebenaran dan menjauhkan diri dari kedzaliman, kedua: menegakkan shalat dan menunaikan zakat dengan cara yang diatur oleh hukumah setempat. . Dalam penjelasan beliau di akhir bab ini tentang karakteristik Daulah Islamiyah dalam al-Quran, yaitu :
1. Negara tersebut harus merdeka terbebas dari penjajahan manapun, dan masyarakatnya menerima pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyyat yang telah diatur oleh Allah SWT dalam al-Quran dan As-Sunnah.
2. Pemimpin negeri itu harus melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan penuh ikhlas mencapai ridha ilahi.
3. Sesuai dengan asas demokrasi, dengan tetap menjunjung Undang-undang tertinggi yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
4. Negara tersebut adalah negara yang berdiri diatas ideologi pemikiran islam yang benar, berjalan diatas asas dan pondasi keimanan yang asasi, dan barangsiapa yang hidup di negara tersebut non muslim maka dia harus mematuhi hukum-hukum yang berjalan diatasnya dengan tetap mmenjaga hak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
5. Negara yang berdiri diatas mabda’ al-Islam.
6. Ruh yang ada di negara tersebut mengikuti akhlaq Islami, bukan hanya berlandaskan politik kekuasaan, berjalan diatas ketaqwaan kepada Allah, dsb.
7. Negara tersebut bukan hanya menegakkan konstitusi militer, tetapi juga bertujuan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
8. Asas berdirinya negara itu adalah persamaan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong di dalam kebajikan dan taqwa.
9. Adanya hubungan yang baik antara penguasa dan rakyat, bukan seperti budak dihadapan majikannya yang harus menuruti semua keinginan majikannya.Dan tidak memperhatikan kebebasan berpendapat dan syura.
Kemudian dalam bab II al maududi menjelaskan tentang dasar-dasar hukum Islam yang terangkum dalam 9 poin yaitu: 1. Menjunjung tinggi dustur ilahi. 2. Adil diantara umat manusia. 3. prinsip persamaan diantara kaum muslimin. 4. Tanggung jawab pemegang kekuasaan. 5. As-Syura. 6. Taat dalam hal kebaikan 7. Anjuran untuk tidak meminta kekuasaan 8. Tujuan adanya negara Islam 9. Al-amr bil ma’ruf wa nahyu an al-Munkar,
Bab III tentang karakteristik khilafah al-Rasyidah, kemudian Bab IV dijelaskan proses beralihnya kekuasaan dari khilafah Islamiyah ke kerajaan, bab V maududi memaparkan perbedaaan antara khilafah Islamiyah dan kerajan, bab VI sebab-sebab munculnya mazhab-mazhab khilafah dalam Islam serta sejarahnya. Bab VII tentang pendapat Imam abu Hanifah seputar khilafah serta karya-karya beliau, bab VIII Mazhab abu Hanifah dalam khilafah serta permasalahan yang berkaitan dengan khilafah.Dan bab yang terakhir beliau menjelaskan tentang Imam abu Yusuf dan karya –karya beliau.
Definisi al-Khilafah
Al-Maududi mendefiniskan hakikat dari khilafah adalah: “Segala sesuatu yang di dapatkan manusia di bumi berupa kekuatan, kekuasaan, tidak lain adalah hanya pemberian Allah dan Allah menjadikan manusia hanya menggunakan apa saja yang ada di bumi sesuai dengan ridha Allah.
Dilihat dari sisi makna khilafah dari bahasa Arab yang diambil dari susunan huruf kha-la-fa yang memiliki tiga makna. Pertama, an yaji’a syai’un ba’da syai’in yaqumu maqamahu, adanya sesuatu bada sesuatu yang bertugas sesuai dengan yang diganti; kedua, khilafu quddam, kebalikan di depan atau terdahulu; ketiga, taghayyur, berubah. Al-Khalafu ma ja’a ba’du. Kata khalf bila menunjukkan kepada yang baik dibaca al-khalaf dan yang jelek al-khalf dengan lam maskunah. Kemudian, muncul isytiqaq (derivasi) khalafa-yakhlufu- khalafan, khalfan, khilafatan, berarti dhiddu taqaddama wa salafa; khalafa kebalikan terdahulu,. Kata khalfa adalah di belakang, seperti khalfa al-imam, di belakang imam. Makna khalifah disebut khalifah kerena pengganti yang berada di belakang yang lain dan menunaikan tugas terdahulu. Khalifatullah, pengganti Allah di muka bumi dan khalifatu Rasulillah, pengganti tugas-tugas kerasulan . Dalam Alquran banyak terdapat istiytiqaq khalafa, khususnya yang menyangkut kekuasaan, sebagaimana dalam hadis dan menunjukkan sesuatu yang berada sesudahnya, seperti perkataan khalifah 2 kali , khulafa’ 3 kali , khala’if 4 kali , khilfah , khalf 20 kali, istakhlaf dengan berbagai shighah (bentuknya) 5 kali . Demikian pula dalam hadis banyak istilah khalifah, Selain kata khalifah, terdapat pula gelar amir dan umara, seperti Amirul Mukminin ketika Umar bin al-Khattab memerintah bahkan Allah juga khalifah (pengurus) manusia, Dari pengertian khilafah yang banyak disebut dalam Alquran ada yang berarti kekasaan secara umum yang merupakan tugas menusia untuk mengolah dunia dan ada yang berarti kerkuasaan, Kemudian, perkataan khalifah ini dijadikan sebagai gelar kepala negara sesudah Muhammad Rasulullah saw. Substansi dari makna khilafah ialah kekuasaan yang berakaitan dengan politik kenegaraan. Khilafah Islamiyah ialah khilafah Islam. Artinya, kekuasaan negara pemerintah yang berdasarkan Islam yang menerapkan syariat Islam dengan segala aspeknya. Persoalannya apakah menerapkan pidana Islam atau juga termasuk konsep khilafah yang utuh seperti zaman dahulu atau hanya berupa penerapan syariat belaka. Sekarang ini negara sudah terpecah menjadi negara-negara kecil yang memilki kebangsaan sendiri dan dibatasi dengan teritorial secara nasional masing-masing. Indonesia yang serumpun dengan Malaysia, sebagai bangsa melayu ternyata sudah berada pada dua negara nasional yang berbeda-beda. Arab Saudi dengan negara-negara teluk lainnya yang mirip dalam bahasa dan adat istadat Arab teluk lainnya memiliki kesamaan sudah terpecah-pecah. Maka kontekstualisasi Khilafah Islamiyah menjadi keniscayaan.
4. Inti Pembahasan Buku
Abu al-A’la al-Maududi menjelaskan inti dari pembahasan buku tidak terdapat dalam satu bab saja, tetapi dari sembilan bab itu saling berkaitan, sehingga saya sendiri kesulitan untuk mengklasifikasikan mana yang termasuk inti pembahasan buku.
Namun dari sekian banyak bab yang dijelaskan syaikh Maududi, di bab empat beliau menjelaskan tentang pergeseran dari khilafah al-Rasyidah menuju sistem kerajaan.
Beliau menjelaskan bahwa awal terjadinya pergeseran itu pada masa sayyidina umar ibn al-khattab Radiyallohu anhu.Karena beliau tidak dijelaskan oleh rasul sebelumnya bahwa yang akan menggantikan kepemimpinan beliau apakah dari bani Hasyim atau tidak. Dan juga abu Bakr Ash siddiq tidak menurunkan tahta kekuasannya kepada keturunan dari bani qabilahnya. Sayyidina Umar juga demikian selama pemerintahannya 10 tahun tidak membuat aturan kepada siapa kekuasannya akan diberikan. Dan pada zaman Sayyidina Umar R.A yang telah menguasai Damaskus, Hims, Palestina, Ordon, dan Libanon. Dan beliau menunjuk anak pamannya Marwan sebagai Penanggung jawab Umum(Sekretaris) al- Daulah. Selain itu juga beliau mengangkat pejabat di setiap perangkat hukumnya dari orang terdekat dan semua berkumpul masih ada hubungan kekeluargaan.
Perlu diketahui juga bahwa al-maududi menyebut khilafah al-Rasyidah dengan sebutan “Khilafah ‘ala manhaj al-Nubuwwah” dan terdapat dua ciri khusus yaitu al-Rasyidah wa mursyidah. Dan bergantinya sistem kenegaraan itu setelah tampu kekuasaan ada pada Mu’awiyah bin Abi Sofyan, al-Maududi menyebutnya sebagai marhalah intiqaliyyah. Ahli Bashrah mengetahui hal itu dan mengatakan “nahnu ala abwaab al-Mulk”, dan oleh karena itu ketika sa’ad ibn Abi Waqqash bertemu dengan Mu’awiyah setelah di bai’at mengatakan: “Assalamualikum ayuha al-Malik” kemudian muawiyah mengatakan:” Mengapa kamu tidak menyebutku: wahai amiral mu’minin?” sa’ad menjawab: “Demi Allah tidak ada yang aku cintai seorang wali setelah aku memberikan loyalitasku kepadanya”
Dan pada saat itu juga sebenarnya Mu’awiyah mengetahui kondisi tersebut kemudian dia berkata:”Ana Awwalu al-Mulki” Namun Ibn katsir mengatakan sesungguhnya itu adalah bagian dari sunnah melaqabkan dengan raja sebagai ganti dari laqabnya dengan khalifah, karena nabi Muhamad SAW bersabda:”al-khilafatu ba’di tsalatsuna tsanah summa takuunu mulkan” dan hal ini berakhir pada bulan rabi’ul awal tahun 41 H ketika turunnya tahta khalifah Hasan RA atas Mu’awiyah.
Dan setelah itu maududi mengisahkan bagaimana perjalanan mu’awiyah dalam menjalankan pemerintahannya sampai akhirnya ahli makkah berbai’at kepadanya.
Setelah al-maududi menjelaskan proses bergantinya kepemimpinan dari kekhilafahan kepada sistem kerajaan kemudian beliau memberikan penjelasan tentang hakikat “al-Qiyadah”. Menurut beliau kepemimpinan kaum muslimin itu terbagi menjadi dua bagian: pertama: al-Qiyadah al-Siyasiyah dan yang kedua al-Qiyadah al-Diniyyah. Yang dimaksud dengan al-Qiyadah al-Siyasiyah adalah kepemimpinan raja yang otoriter. Maksudnya adalah dia tidak bisa berkuasa kecuali dengan tangan besi, dan orang-orang yang dipimpinnya itu setengah hati menerimanya. Meskipun dalam mauqif seperti ini kaum muslimin tetap harus berbai’at atau patuh terhadap segala peraturan yang telah ditentukan demi terciptanya rasa aman dalam melakukan ibadah rukun Islam yang lima. Tetapi kaum muslimin yang ada di negeri itu harus tetap punya keinginan untuk bisa merubah kondisi yang lebih Islami dan tegaknya hukum-hukum Allah Swt.
Dan yang dimaksud dengan al-Qiyadah al-Diniyyah adalah kepemimpinan yang dipegang oleh para sahabat, tabi’in, fuqaha’ dan para muhadits. Mereka adalah orang-orang yang terpercaya dan mempunyai kredibilitas yang tidak bisa diragukan kemampuannya di bidang ilmu kenegaraan dan ilmu agama. Mereka adalah agamawan sekaligus negarawan. Dan saat ini kita sangat merindukan kepemimpinan seperti mereka.
5. Kelebihan dan kekurangan buku serta kritik terhadapnya
Salah satu doktor Fakultas lughah Arabiyah universitas al-Azhar ustadz Ahmad Idris mengatakan: “ketika saya membaca buku asli beliau saya seolah-olah menemukan hal baru yang belum pernah aku baca sebelumnya...subhanallah...tulisan ustadz al maududi menulisnya dengan bashirah, dan manhaj yang berisikan solusi tehadap problematika umat, dan selama bertahun-tahun belum pernah aku temukan buku yang menggugah nurani dan mata hatiku”
Selain itu buku ini mempunyai sistematika pembahasan yang menyentuh semua sisi siyasah syar’iyah dipadukan dengan hujjah yang jelas berlandaskan al-qur’an dan al-Sunnah serta para sahabat RA. Ketika kita pertama kali membuka buku ini, kita dihadapkan kepada bagaimana pandangan al-Qur’an tentang al-siyasah, tashawwur al-kaun,dan segala sesuatu yang berhubungan dengan al-Daulah dan al-Siyasah. Seolah-olah beliau mengajarkan kita tentang tarbiyah quraniyyah siyasiyah al-shohihah. Dan buku ini menurut saya bisa dijadikan rujukan ketika ummat sedang kebingungan dalam memilih sistem pemerintahan yang sesuai dengan tuntunan ilahi.Karena di dalamnya terdapat dasar-dasar hukum Islam. Namun tidaklah lengkap sebelum kita membaca kitab lain dari karangan beliau yang berjudul: “mafahim al-Islamiyah haula al-din wa al-Daulah”, karena buku tersebut sudah menyentuh tataran praktis ketika daulah islamiyah terbentuk.
Ada pepatah terkenal berbunyi, "Tidak ada gading yang tidak retak." Artinya, manusia sebaik dan sehebat apa pun, selain al ma 'shum, pasti memiliki kekurangan. Ketika berbicara tentang abu al-a’la al-Maududi maka pikiran kita akan tertuju kepada sebuah harakah Islamiyah terbesar abad 20 yaitu al-Ikhwan al-Muslimun.Dan ulama’ mu’tabar telah banyak yang mentahdzir jama’ah ini, mereka mengatakan bahwa jama’ah ini selau tersibukkan dengan politik dan mengabaikan da’wah tauhid, membersihkan umat dari bahaya bid’ah, khurafat dan tahayul. Dan yang tak lepas dari tuduhan itu adalah ustadz al maududi.
Al-Khatimah
Di akhir tulisan ini saya sampaikan beberapa catatan Khulafa Rasyidun dan khilafah pada khulafa sesudahnya sebagai berikut: Pertama, Khulafa Rasyidun setelah Rasulullah, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib menerapkan syura, walaupun ada perbedaan-perbedaan dalam implementasinya, seperti perwakilan, penunjukkan oleh khalifah sebelumnya (setelah konsultasi dengan sahabat-sahabat lain), formatur, dan pemilihin langung. Tidak ada seorang pun dia antara yang menjadi khalifah masa mereka itu berkaitan keturunan dengan khalifah-khalifah sebelumnya, sementara para khulafa sesudahnya berdasarkan keturunan, sehingga tidak diperhatikan kualitas kecuali intern keluarga khalifah. Kedua, khalifah pada masa Khulafa Rasyidun memiliki kredibiltas keilmuan yang mumpuni, sementara khalifah sesudahnya ada pemisahan antara ulama dan umara. Memang tugas-tugas khalifah begitu berat pada masa itu ditambah lagi dengan tingkat kredibiltas keilmuan khalifah pasca Khulafa Rasyidun berbeda. Bila khulafa masa sebelumnya adalah para pejuang dan memiliki bobot keilmuan yang memadai, tetapi khalifah sesudahnya adalah anak-anak istana. Ketiga, pergantian khalifah antara satu dinasti dengan dinasti lainnya seringkali kali dengan kekerasan berupa inqilab (cup), bahkan perebutan kekuasaan di dalam satu dinasti pun adakalanya dengan kekerasan.
Sebenarnya banyak usaha untuk menegakkan kembali institusi khilafah sejak dibubarkan Mustafa Kemal Attaturk, yaitu Muktamar Khilafah di Kairo (1926), Kongres Khilafah di Mekah (1928). Penyatuan negara-negara berpenduduk Muslim sedunia adalah suatu yang ideal, tetapi faktor penghambat dapat terjadi yang antara lain berikut: Pertama, siapa yang berhak menjadi khalifah dengan pendudk 1.3 M dengan berbagai etnis dan bahasa. Akankah mengambil hadis, “Al-A’immati min Quraisy, para imam itu dari orang Quraisy”. Kedua, bagaimana cara melakukan syura atau pemilihan yang sedemikian besar. Siapa-siapa yang berhak menjadi wakilnya. Ketiga, Penyatuan umat seluruh dunia dalam arti satu negara khilafah”.
Demikianlah ulasan singkat saya tentang buku al-Khilafah wa al-Mulk karangan sayyid abu al-A'la al-Maududi. Semoga dengan kajian singkat ini bisa menambah referensi kita terhadap pemahaman yang benar tentang al-khilafah dan apa saja yang terkait dengan hal itu. Saya berharap pembaca bisa memberikan masukan yang membangun demi kesempurnaan dalam tulisan ini.
Wallahu a'lam bis showab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar